Senin, 12 Desember 2011

Vesya


“Mama! Mama! Lihat, lihat!!” seru Patrisia. Ia nampak senang melihat lautan rumput yang membentang di depannya. Begitu hijau; menghanyutkan asa; tenggelamkan penat dan jadikan Sang mata terpesona. Setengah berlari, ia pun menuju bukit fantasi yang sangat diinginnkannya. Keinginannya adalah segera menyatukan diri dengan kehijauaan itu. Bersama Lessy,anjingnya, dia meluapkan kebahagiannya itu di sebuah padang rumput hijau. Mengejar kupu-kupu adalah kegiatan pertamanya. Namun aneh, tak satu pun bunga nampak sejauh mata memandang. Hanya terlihat rerumputan luas diselingi pohon –pohon rindang di beberapa tempat. Mengapa ada banyak kupu-kupu? Padahal tak ada bunga yang tumbuh di sekitar sini. Memang sangat aneh, tapi Patrisia tak ambil pusing masalah itu. Kekagumannya telah membutakan dirinya. Dia sama sekali tak menyadari keanehan tersebut. Maklumlah, ini adalah kali pertama ia datang ke sana.

Dari kejauhan, orang tuanya nampak duduk di sebuah bangku taman yang sudah usang. Sungguh sangat serasi. Mereka saling merangkul sambil tetap mengawasi gerak-gerik anak semata wayangnya. Pandangan mereka seolah tak dapat lepas dari Patrisia. Mereka terus saja melihat ke arah Patrisia. Sampai tak sadar ikut tertawa ketika Patrisia bertingkah lucu. ”Patrisia! Mainnya jangan jauh-jauh!” teriak ayahnya. “Ia,pa! Tenang saja!” jawabnya. Ah, dasar Patrisia! Bibirnya memang berkata iya, akan tetapi hatinya berkata tidak. Patrisia kecil masih meneruskan langkahnya; tak mau berhenti. Rasa ingin tahunya terlampau hebat hingga larangan itu tak digubrisnya. Sampai akhirnya, ia lelah. Semangatnya yang tadi berkobar, hilang sudah tergerus kondisi tubuh yang tak memungkinkan lagi. “Lessy, bagaimana kalau kita beristirahat di pohon besar itu?” “Guk! Guk!” jawab Lessy seperti mengerti ucapan Patrisia.

Tak sampai sepuluh langkah, mereka sampai di sebuah pohon besar yang menjulang tinggi. Batangnya nampak kokoh dan besar. Ranting-rantingnya tak terhitung; banyak sekali. Daun-daunnya berwarna kuning kecoklatan; ia berguguran dipermainkan angin, nampak seperti hujan. Sungguh, tempat yang sangat cocok untuk kurangi rasa lelah yang membebani mereka. Di sana Patrisia langsung menjatuhkan tubuhnya ke rerumputan empuk di bawah pohon tersebut. Sama dengan Lessy, dia langsung mengambil posisi yang enak untuk memejamkan mata. Hah..mereka nampak menikmati saat-saat itu. Menikmati harumnya rerumputan, menikmati kesejukannya,wah sangat nyaman. Dan angin sepoi-sepoi pun akhirnya menghipnotis keduanya. Mereka pun tertidur.
***
Awan gelap, petir menyambar, angin kencang; menerbangkan dedaunan. Seketika ladang rumput hijau berubah menjadi neraka. Semuanya lenyap tak berbekas. Tanah-tanah terkikis dan retak terbawa angin. Hujan mengguyur tanpa ampun. Dan tiba-tiba banjir melanda. “Ada apa ini?” bathin Patrisia. Ia basah kuyup di keroyok hujan. Gaun putihnya tak lagi putih karena terkena lumpur. Rambutnya yang ikal pun menjadi lepek. Ia berlari sekencang-kencangnya.”Ada apa sebenarnya ini? Ke mana Lessy? Ke mana orang tua ku?” Patrisia sangat bingung. Seingatnya, dia baru saja istirahat di sebuah pohon besar bersama anjingnya. Namun mengapa keadaannya bisa berubah sedrastis ini? Di tengah kebingungan itu, dia melihat seorang gadis kecil. Gadis tersebut sedang menangis di bawah pohon yang barusan menjadi tempat peristirahatannya. Kaki dan tangannya terikat oleh akar pohon itu. Tapi ada suatu keanehan pada gadis itu. Nampak dia tidak seperti gadis kecil pada umumnya. Kulit, rambut, dan matanya berwarna ungu. Sangat aneh. “Siapakah gadis ini? Mengapa dia bisa ada disini?”bathin Patrisia. Tak henti-hentinya dia menangis, membuat Patrisia merasa kasihan. Di tengah hujan yang mengguyur, petir menyambar-nyambar, Patrisia mendekati gadis itu. Namun banjir lumpur menyulitkannya. Tinggi lumpur, sudah sampai selutut orang dewasa. Hal ini membuat Patrisia harus berjuang lebih keras untuk mencapai pohon tersebut. Ia menyeret-nyeret kakinya dan hal tersebut sungguh menguras tenaga.

Langit masih meraung-raung dan menyeramkan. Suasananya begitu mencekam. Menakutkan.Tangisan gadis ungu tersebut pun menambah kengeriaan mendung hari itu. “Tenanglah, aku akan menyelamatkanmu.” kata Patrisia sambil menarik-narik akar pohon yang sedang membelit tubuh mungil gadis malang tersebut. “Percuma..” kata gadis itu lirih. “Aku telah lama terikat disini. Kau takkan bisa melepas ikatan akar ini” lanjutnya. “Biar aku coba dulu. Kamu tidak boleh putus asa. Aku akan berusaha.”kata Patrisia meyakinkan.“Aku tak percaya denganmu.”jawabnya sinis. “Mengapa?” Patrisia mengerutkan alis. “Pergilah! Selamatkan dirimu!” bentak gadis itu. Patrisia semakin bingung. Tapi dia tetap pada pendiriannya. “Tidak, sebelum aku menyelamatkanmu!” jawabnya mantap. “Dasar keras kepala! Terserahlah, jika kau mau mati.”
Patrisia masih berkutat dengan akar-akar pohon tersebut. Memang benar, akar pohon itu sulit untuk dilepaskan dari tubuh si gadis ungu. Tapi kegigihan Patrisia tak surut, dia terus berusaha dan terus berusaha. Dia tidak ingin gadis itu mati. Dan dia takkan setega itu. “Kalau pun mati, kita mati sama-sama! Aku takkan meninggalkanmu.” katanya meyakinkan. Gadis itu hanya tersenyum.

Patrisia masih terus berusaha melepaskan ikatan akar tersebut, terus berusaha hingga tak peduli akar tersebut menggores tangannya. “Sudahlah! Jangan sok jadi pahlawan! Pergilah sana!” bentak gadis itu. Patrisia tak habis pikir, mengapa gadis ini begitu pemarah dan sama sekali tak bersahabat. Niatnya hanya ingin menolong, bukan apa-apa. Mengapa dia terus saja menyuruhnya pergi. “Diamlah! Aku hanya ingin membantumu!” jawab Patrisia kesal.

Di tengah perdebatan itu, tiba-tiba muncul sebuah pusaran lumpur di dekat pohon yang mereka diami. Pusaran itu menyedot apapun yang ada di sekitarnya. Patrisia mulai panik. Tangannya mulai gemetar, namun dia masih berusaha melepaskan si gadis ungu. Dan pada akhirnya, usahanya tak sia-sia; ikatan itu terlepas juga. Dengan segera ia meraih telapak tangan si gadis ungu itu, dan mengajaknya pergi menjauh dari banjir lumpur yang melanda. Mereka pun terus berlari dengan sisa tenaga yang ada.”Terima kasih...”kata si gadis ungu. “Sama-sama.”jawab patrisia sambil tersenyum. “Tapi aku tak bisa berlari lagi..”kata si gadis. “Bertahanlah... sedikit lagi kita akan selamat.”Patrisia terus saja meyakinkannya. Namun, kelelahan itu menghentikan langkahnya. Dia pun jatuh pingsan. “Hei..adik kecil! Bangunlah! Bangun!” teriak patrisia panik. “Oh Good! Apa yang harusku lakukan?!” Tanpa pikir panjang Patrisia kemudian mengangkat tubuh lemah itu dan menggendongnya di pundaknya. Ia terus berlari. Sampai akhirnya...
***
Patrisia membuka matanya. Nampak ia masih tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. “Aku kembali ? ” bathinnya. Matanya menerawang kesekeliling ladang. “Ladang baik-baik saja, ke mana hujan dan banjir tadi? Aneh..” Dia masih tidak bisa percaya dan sangat tidak percaya. “Apakah itu mimpi? Ya.. itu hanyalah mimpi.” Katanya meyakinkan diri. Namun, keyakinan itu perlahan lenyap oleh keberadaan sebuah bunga kecil yang tiba-tiba saja tumbuh di sampingnya. Warnanya ungu, persis seperti adik kecil itu. “Ah ini hanya kebetulan saja Patrisia...” dia kembali membangun keyakinan dirinya.

Namun keberadaan bunga ungu itu membuatnya ragu. “Apakah aku benar-benar telah bermimpi? Jikalau benar mimpi, mengapa tiba-tiba muncul setangkai bunga di sini? Apa maksudnya?” Karena penasaran, Patrisia pun menyentuh bunga ungu itu; melihatnya secara seksama. Lama dia memperhatikan sampai dia dikagetkan dengan seberkas sinar yang tiba-tiba muncul dari bunga tersebut. Cahaya itu membungkus tubuh Patrisia; melilitnya seperti kepompong, lalu masuk ke telapak tangannya dan membentuk sebuah tato. Ya, sebuah tato bergambarkan bunga ungu yang bertuliskan Vesya. Kejadian itu di luar akal sehat patrisia. Keanehan-keanehan datang bertubi-tubi dan silih berganti, membuatnya semakin bingung, dan muncul perasaan takut. Dia terus menatap tato itu, “ Apa maksudnya ini? Apa itu Vesya?” banyak pertanyaan yang memenuhi pikirannya. Tak mau larut terlalu lama dengan kebingungannya, dia pun beranjak dari tempat itu, mengajak Lessy pulang bersamanya; meninggalkan keajaiban-keajaiban yang ia alami hari itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar