Minggu, 11 Desember 2011

PENGGUNAAN BAHASA PADA PROSESI PEMINANGAN NYENTANA DI DESA PETIGA MARGA TABANAN

Kelompok II
Ni Luh Nanik Pebriana (0712011054)
Ni Putu Juliasih (0912011003)
Putu Yuliani (0912011010)
Ni Putu Juniana Dewi (0912011021)

B. LATAR BELAKANG

Bahasa memiliki fungsi yang sangat kompleks. Salah satu fungsi bahasa yang paling penting adalah alat komunikasi. Berkomunikasi tentu ada pesan yang ingin disampaikan oleh penutur kepada mitra tutur. Begitu pula fungsi bahasa pada upacara adat di Bali, khususnya pada upacara meminang. Upacara meminang adalah salah satu upacara yang sangat penting (acara sebelum diadakannya upacara pernikahan). Upacara peminangan, melibatkan dua pihak keluarga yaitu keluarga calon mempelai perempuan dan calon mempelai laki-laki. Upacara ini, menghadirkan dua pihak keluarga yang berasal dari berbagai daerah di Bali, yang tentunya memiliki adat yang berbeda. Tentunya, penggunaan bahasa pun berbeda-beda, dari ragam hingga penyampaian maksud dan tujuan pembicaraan.

Upacara peminangan ini, bagi kedua pihak keluarga dan calon mempelai sangat penting, sehingga dibutuhkan orang-orang yang benar-benar ahli dibidang tersebut. Biasanya, dalam upacara peminangan terjadi suatu peristiwa tawar-menawar antar kedua belah pihak, misalnya, dalam penyediaan alat-alat upacara pernikahan. Yang paling menarik adalah kecendrungan penggunaan bahasa yang berputar-putar untuk menyampaikan sesuatu yang sangat sederhana. Hal ini disebabkan, kedua belah pihak berupaya menggunakan bahasa sehalus mungkin agar tidak menyinggung lawan bicara.

Adat di Bali, dikenal ada bermacam-macam bentuk pernikahan. Salah satunya adalah Nyentana. Tradisi Nyentana adalah tradisi yang meminang mempelai laki-laki oleh pihak mempelai wanita. Tradisi ini, sering dilakukan di daerah Tabanan, Bali. Tradisi ini dilakukan apabila keluarga calon mempelai wanita tidak memiliki keturunan laki-laki. Untuk itu, pihak keluarga wanita akan ngidih (meminta) anak lelaki dari keluarga lain untuk dijadikan menantu, agar keturunan keluarga tersebut tidak putus.

Upacara peminangan dalam tradisi Nyentana , pihak keluarga calon mempelai wanita sedapat mungkin harus menggunakan bahasa yang santun dan terkesan berhati-hati. Jika keluarga yang ngidih sembrono dalam menggunakan bahasa akan berakibat fatal bagi kelancaran peminangan. Bisa saja, keluarga yang anaknya pekidih akan tersinggung dan membatalkan pernikahan. Hal ini tentu tidak diinginkan, untuk itu orang yang ditugaskan meminang harus teliti dalam memilih ragam bahasa yang akan digunakannya dalam usaha memengaruhi pikiran pihak keluarga calon mempelai laki-laki agar mau menyetujui anaknya menjadi Sentana. Hal ini berhubungan dengan keadaan psikologi pihak keluarga calon mempelai laki-laki. Terkadang ada orang tua yang merasa sangat direndahkan saat anak lelakinya diminta untuk menjadi menantu dan tidak memegang peran Purusa dalam keluarga tersebut, sehingga kesantunan berbahasa pun dirasa perlu diperhatikan.

Melihat betapa pentingnya prosesi peminangan dalam tradisi Nyentana ini, sehingga diperlukan pengadaan kajian khusus mengenai penggunaan bahasa yang tepat pada prosesi peminangan dalam tradisi Nyentana. Hal ini untuk memudah pihak peminang dalam memilih kata-kata yang memperhatikan kesopansantunan serta tidak berpengaruh buruk pada psikologi keluarga mempelai laki-laki. Selain itu, tujuan upacara peminangan ini tercapai tanpa adanya halangan yang menyebabkan pihak keluarga calon mempelai laki-laki membatalkan acara tersebut.
Ada sebuah kejadian yang pada akhirnya membuat peneliti tertarik meneliti ragam bahasa yang digunakan pada prosesi peminangan Nyentana. Kejadian tersebut terjadi di desa Petiga, kecamatan Marga. Pihak keluarga calon mempelai laki-laki membatalkan lamaran lantaran tersinggung oleh kata-kata yang dilontarkan oleh juru bicara pihak keluarga calon mempelai wanita. Juru bicara calon keluarga dianggap merendahkan pihak keluarga laki-laki akibatnya bukan pernikahan maupun kesepakatan yang didapat akan tetapi pertikaian hebat yang terjadi. Sebegitu besar peranan bahasa yang digunakan dalam mempengaruhi pikiran dan perasaan seseorang membuat penulis tergelitik untuk mencari tahu tentang ragam bahasa apa yang sebaiknya digunakan dalam usaha meminang mempelai lelaki pada prosesi Nyentana agar tidak terjadi ketersinggungan antara keduabelah pihak. Kesempatan ini pun peneliti gunakan mengkaji lebih jauh mengenai pemilihan bahasa yang digunakan pada prosesi peminangan, mengapa digunakan ragam bahasa tersebut, serta bagaimana dampak psikologis yang ditimbulkan ketika menggunakan ragam bahasa tersebut. Peneliti berharap, hasil penelitian ini akan berguna bagi masyarakat khususnya bagi keluarga yang akan melaksanakan prosesi Nyentana agar prosesi tersebut bisa berjalan dengan baik.

Adapun alasan peneliti melakukan penelitian tentang penggunaan bahasa pada prosesi peminangan Nyentana di desa Petiga Kecamatan Marga Kabupaten Tabanan adalah sebagai berikut. Yang pertama, penggunaan bahasa pada prosesi peminangan Nyentana di Desa Petiga belum pernah ada yang meneliti. Yang kedua, prosesi peminangan Nyentana sangat unik karena pada prosesi ini yang dipinang bukan mempelai perempuan tetapi mempelai laki-laki dan tradisi ini hanya dilakukan di Tabanan (sebagian besar). Yang ketiga, penelitian dilakukan di tempat tinggal peneliti sendiri sehingga memudahkan peneliti dalam mencari data-data yang diperlukan. Yang keempat, keberadaan tradisi Nyentana yang masih menjadi polemik di Bali. Yang kelima, pihak keluarga yang meminang (perempuan) baik dari wangsa Brahmana, ksatria, waisya maupun sudra memiliki kecendrungan merendahkan diri ketika prosesi peminangan tersebut. Yang terakhir, prosesi peminangan Nyentana adalah prosesi yang rentan konflik sehingga peneliti tertarik untuk mengkaji pilihan bahasa yang digunakan oleh juru bicara dalam usaha meminimalisasi hal tersebut.

Penelitian sejenis yang pernah dilakukan di tempat lain adalah sebagai berikut. (1) Pilihan Bahasa Masyarakat SMU 4 Singaraja dalam Berinteraksi di Lingkungan Sekolah ole Ni Luh Putu Wiwit Rahayu tahun 2004. (2) Pilihan Bahasa Pramuwisata Pendakian Gunung Batur dalam Berkomunikasi antarpramuwisata pada tahun 2007 oleh I Nengah Selamat. (3) Alih Kode Dalam Percakapan pada Upacara Peminangan Lintas Wangsa di Desa Batu Agung pada tahun 2009 oleh Ni Putu Febri Pertiwi



C. RUMUSAN MASALAH
  1. Ragam bahasa apa yang digunakan pada prosesi peminangan dalam tradisi Nyentana?
  2. Apa yang melandasi penggunaan ragam bahasa tersebut?
  3. Dampak apa yang ditimbulkan oleh ragam bahasa tersebut?


D. TUJUAN
  1. Untuk mendeskripsikan ragam bahasa yang digunakan pada prosesi peminangan dalam tradisi Nyentana.
  2. Untuk mengetahui apa yang melandasi penggunaan ragam bahasa tersebut.
  3. Untuk mengetahui dampak yang ditimbulkan oleh ragam bahasa tersebut.


E. MANFAAT

1. Bagi peneliti
Hasil penelitian ini peneliti harapkan bisa menjadi gambaran mengenai ragam bahasa yang digunakan dalam prosesi peminangan dalam tradisi Nyentana. Selain itu, penulis juga berharap hasil penelitian ini dapat menjadi gambaran mengenai keadaan psikologis pihak keluarga yang melaksanakan prosesi tersebut dan mengetahui tingkat kesantunan berbahasa pada prosesi tersebut.

2. Bagi Masyarakat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi pedoman bagi masyarakat, khususnya yang akan melakukan prosesi Nyentana, dalam pemilihan ragam bahasa agar tidak mengurangi kesantunan dan berdampak baik pada psikologis keluarga calon mempelai laki-laki yang akan dijadikan Sentana sehingga acara bisa berjalan dengan baik.

3. Bagi Peneliti Lain
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai pedoman dan bandingan dalam melakukan penelitian sejenis.

F. KAJIAN TEORI

1. Sistem Perkawinan Nyentana

Istilah Nyeburin sama dengan Nyentana. Menurut pakar hukum adat Prof. Dr. Wayan P. Windia, S.H., M.Si., perkawinan Nyeburin atau Nyentana terjadi jika sebuah keluarga memiliki anak perempuan tunggal atau beberapa anak perempuan. Jika ada beberapa anak perempuan biasanya salah satu buah hati pasutri tersebut dikukuhkan statusnya sebagai ‘laki-laki’ atau purusa melalui perkawinan nyentana atau nyeburin. Ujung pengukuhan ini menobatkan anak perempuan tadi menjadi sentana rajeg. “Setelah sah kawin, suaminya ikut istri dan berstatus sebagai ‘perempuan’ atau pradana di keluarga sang istri,” katanya.

Pada masyarakat patrilinial di Bali dikenal lembaga “sentana rajeg” yaitu anak perempuan dirubah statusnya melalui perkawinan nyeburin (nyentana) sehingga menjadi sama statusnya dengan status anak laki-laki. Perlu diketahui bahwa tidak setiap anak perempuan dapat dirubah statusnya karena ada persyaratan-persyaratan tertentu yang harus dipenuhi. Contoh dalam sebuah keluarga tidak dikaruniai anak laki-laki. Dan yang lebih patal adalah apabila dalam suatu keluarga tidak mempunyai anak laki-laki dapat dipakai alasan bagi suami untuk melakukan poligami. Dalam kaitan dengan hal itu hukum adat memang membolehkan adanya poligami sedang jumlah wanita yang boleh dikawin tidak terbatas(Soewando,Nani. 1984: 47) , sehingga untuk menghindari adanya poligami maka ditempuh upaya merubah kedudukan anak perempuan melalui perkawinan nyeburin.

Anak perempuan yang dirubah statusnya dengan perkawinan nyeburin, status dan kedudukannya sama dengan anak laki-laki tetapi terbatas hanya dalam kaitan dengan harta kekayaan orang tuannya saja sedangkan dalam hal yang lainnya yakni sebagai kepala keluarga, anggota masyarakat adat (ayah laki) tetap dilakukan oleh laki-laki yang kawin nyeburin dan perempuan yang keceburin melakukan kewajibannya sebagai perempuan pada umumnya.

Kitab Manawa Dharmasastra sebagai sumber hukum positif yang berlaku bagi umat Hindu secara tegas menyebutkan mengenai status anak wanita yang ditegakkan sebagai penerus keturunan dengan sebutan Putrika (perempuan yang diubah statusnya menjadi laki-laki. Cloka 127 kitab tersebut secara gamblang menyebutkan ‘’Ia yang tidak mempunyai anak laki-laki dapat menjadikan anaknya yang perempuan menjadi demikian (status lelaki) menurut acara penunjukan anak wanita dengan mengatakan kepada suaminya anak laki-laki yang lahir daripadanya akan melakukan upacara penguburan’’.

Dari uraian Cloka tersebut, jelaslah bahwa perkawinan Nyentana dibolehkan. Lelaki yang mau Nyentana inilah yang disebut Sentana.

2. Sikap Bahasa

Untuk dapat memahami apa yang disebut sikap bahasa, terlebih dahulu akan dijelaskan apa itu sikap. Dalam bahasa Indonesia (KBBI), kata sikap dapat mengacu pada bentuk tubuh, posisi berdiri yang tegak, perilaku atau gerak-gerik, dan perbuatan atau tindakan yang dilakukan berdasarkan pandangan sebagai reaksi atas adanya suatu hal atau kejadian. Sesungguhnya, sikap itu adalah fenomena kejiwaan yang biasanya termanifestasi dalam bentuk tindakan dan perilaku. Namun, menurut banyak penelitian, tidak selalu dilakukan secara lahiriah merupakan cerminan dari sikap bathiniah, atau kata lain apa yang terdapat dalam batin tidak selalu tampak pada perilaku lahir. Banyak faktor yang memengaruhi hubungan sikap bathin dan perilaku lahir. Sikap berupa pendirian, pandangan, atau pendapat dalam batin tidak dapat diamati secara empiris. Namun, menurut kebiasaan jika tidak ada faktor-faktor lain yang memengaruhi, sikap yang ada dalam batin dapat diduga dari tindakan dan perilaku lahir.

Menurut Lambert(dalam Chaer,2004:150), sikap terdiri atas tiga komponen, yaitu komponen kognitif, komponen afektif, dan komponen konatif. Komponen kognitif berhubungan dengan pengetahuan mengenai alam sekitar dan gagasan yang biasanya merupakan kategori yang dipergunakan dalam proses berpikir. Komponen afektif menyangkut masalah penilaian baik, suka atau tidak suka terhadap sesuatu atau kejadian. Komponen konatif menyangkut perilaku atau perbuatan sebagai keputusan akhir, kesiapan reaktif terhadap suatu keadaan. Melalui komponen ketiga inilah orang biasanya mencoba menduga bagaimana sikap seseorang terhadap suatu keadaan yang dihadapi. Ketiga komponen (afektif,kognitif,konatif) pada umumnya berhubungan erat. Namun, pengalaman menyenangkan atau tidak menyenangkan yang didapat seseorang di dalam masyarakat menyebabkan ketiga komponen ini tidak sejalan. Kalau ketiga komponen ini sejalan bisa diramalkan perilaku itu menunjukkan sikap. Akan tetapi, kalau tidak sejalan, perilaku tidak dapat diduga untuk mengetahui sikap.

Sugar (dalam Chaer,2004:150) menyatakan bahwa perilaku ditentukan oleh empat faktor utama., yaitu sikap, norma sosial, kebiasaan dan akibat yang mungkin terjadi. Dari keempat faktor itu dikatakan bahwa kebiasaan adalah faktor yang paling kuat.
Dari beberpa pandangan tokoh di atas, penel;iti sejalan dengan pandangan Sugar, bahwa perilaku lahiur ditentukan oleh empat faktor, yaitu sikap, norma sosial, kebiasaan,dan akibat yang mungkin terjadi.

Anderson (dalam Chaer,2004:151) membagi sikap atas dua macam, yaitu sikap kebahasaan dan nonkebahasaan. Sikap kebahasaan adalah tata keyakinana atau kognisi yang relatif berjangka panjang, sebagian mengenai bahasa, mengenai objek bahasa yang memberikan kecendrungan kepada seseorang untuk bereaksi dengan cara tertentu yang disenanginya. Namun, perlu diperhatikan karena sikap itu bisa positif (kalau dinilai baik atau disukai) dan negatif (kalau nilai tidak disukai dan tidak baik), maka sikap terhadap bahasa pun demikian. Garvin dan Mathiot (dalam Chaer,2004:152) mengungkapkan tiga ciri sikap bahasa, yaitu (1) kesetiaan bahasa (Language loyalty) yang mendorong masyarakat suatu bahasa untum mempertahankan bahasanya, dan apabila perlu mencegah adanya pengaruh bahasa lain; (2) kebanggaan bahasa (language pride) yang mendorong orang mengembangkan bahasanya dan menggunakan sebagai lambang identitas dan kesatuan masyarakat;(3) kesadaran adanya norma bahasa (awareness of the norm) yang mendorong orang menggunakan bahasanya dengan cermat dan santun, dan merupakan faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap perbuatan, yaitu kegiatan menggunakan bahasa(language use). Ketiga ciri yang dikemukakan Garvin dan Mathiot di atas, merupakan ciri-ciri sikap positif terhadap bahasa. Sebaliknya, kalau tiga ciri sikap bahasa itu sudah menghilang atau melemah dari diri seseorang atau dari kelompok masyarakat tutur, maka berarti sikap negatif pada suatu bahasa telah melanda diri orang atau kelompok masyarakat tutur itu. Tiadanya gairah atau dorongan untuk mempertahankan kemandirian bahasanya merupakan salah stu penanda bahwa kesetiaan bahasanya mulai melemah yang berlanjut menjadi hilang sama sekali. Sikap negatif pada suatu bahasa bisa terjadi juga bila seseorang atau kelompok masyarakat tutur tidak mempunyai lagi rasa bangga terhadap bahasanya dan mengalihkan rasa bangga itu kepada bahasa lain yang bukan miliknya. Memang banyak faktor yang bisa menyebabkan hilangnya rasa bangga terhadap bahasa sendiri dan tumbuhnya rasa positf dalam bahasa lain,yaitu faktor politik,ras,etnik,gengsi, dan sebagainya.

Berkenaan dengan sikap negatif terhadap bahasa (salah satu bahasa), Halim berpendapat bahwa jalan yang harus ditempuh untuk mengubah sikap negatif terhadap bahasa menjadi sikap positif terhadap bahasa adalah dengan jalan pendidikan bahasa atas dasar pembinaan kaidah dan norma bahasa, disamping norma-norma sosial dan budaya yang ada di dalam masyarakat bahasa bersangkutan.

3. Ragam Bahasa

Bahasa, dalam praktek pemakaiannya, pada dasarnya memiliki bermacam-macam ragam. Maksud ragam dalam konteks ini adalah variasi pemakaian bahasa yang berbeda-beda (Mustakim, 1994: 18) sedangkan Kartomihardjo (1988: 23) menyebutkan ragam sebagai suatu piranti untuk menyampaikan makna sosial atau artistik yang tidak dapat disampaikan melalui kata-kata dengan makna harfiah.

Lebih lanjut, Kridalaksana (dalam Silahidin, 1991: 19) menyebutkan ragam bahasa adalah variasi bahasa menurut pemakaian yang berbeda-beda menurut topik yang dibicarakan dan menurut media pebicaraannya. Jadi ragam bahasa ini bentuknya beragam atau bermacam-macam karena beberapa hal atau faktor seperti disebutkan di atas.

Ragam bahasa dapat dibedakan atas beberapa jenis. Pertama, dilihat dari segi sarana pemakaiannya dapat dibedakan atas ragam lisan dan ragam tulis. Antara kedua ragam tersebut terdapat perbedaan yang tidak begitu mencolok. Jadi untuk mengetahui kedua ragam tersebut harus memperhatikan kedua jenis ragam tersebut secara seksama. Dalam ragam lisan unsur-unsur bahasa yang digunakan cenderung sedikit dan sederhana. Artinya tidak selengkap pada ragam tulis karena pada ragam lisan dalam menyampaikan informasi dapat disertai dengan gerakan anggota tubuh tertentu (mimik) yang dapat mendukung maksud informasi yang disampaikan dan menggunakan intonasi sebagai penekanan. Di samping itu, satu hal lagi yang membuat ragam bahasa lisan lebih sederhana adalah adanya situasi tempat pembicaraan berlangsung. Semua hal tersebut dapat memperjelas informasi yang kita sampaikan kepada mitra tutur. Akan tetapi, tiga hal tersebut tidak dapat terjadi atau tidak akan terdapat dalam penggunaan ragam tulis, sehingga ragam ini cenderung lebih rumit. Hal ini disebabkan pada ragam tulis mau tidak mau harus menggunakan unsur-unsur bahasa yang lebih banyak dan lengkap agar informasi yang disampaikan dapat diterima dengan baik dan jelas oleh orang yang diberi informasi (si penerima informasi). Jadi penulisan secara lengkap unsur-unsur bahasa dalam ragam tulis ini bertujuan untuk menghidari terjadinya salah mengerti atau menerima pesan dari si pemberi pesan.

Kedua, didasarkan pada tingkat keresmian situasi pemakaiannya, ragam bahasa dibedakan menjadi ragam resmi (ragam formal) dan ragam tidak resmi (ragam informal). Sesuai dengan namanya, ragam formal adalah ragam yang digunakan dalam situasi yang resmi, sedangkan ragam informal adalah ragam yang digunakan dalam situasi yang tidak resmi. Ciri dari dua ragam ini adalah tingkat kebakuan pada bahasa yang digunakan. Dengan demikian ragam resmi ditandai dengan pemakaian unsur-unsur kebahasaan yang menunjukkan tingkat kebakuannya yang rendah. Keempat ragam bahasa yang dibedakan atas dasar dua segi seperti telah diuraikan di atas, apabila kita gabungkan akan menjadi ragam yang namanya gabungan pula. Ragam bahasa hasil penggabungan atau perpaduan dari dua segi (sarana pemakaiannya dan tingkat keresmian situasi pemakaiannya) menghasilkan ragam lisan resmi (ragam lisan formal) ragam lisan tidak resmi (ragam lisan informal), ragam tulis resmi (ragam tulis formal), dan ragam tulis tidak resmi (ragam tulis informal). Ragam lisan resmi biasanya digunakan dalam forum yang sifatnya resmi pula. Misalnya dalam rapat-rapat, seminar, pidato, simposium, dan dalam perkuliahan (proses belajar mengajar). Ragam lisan tidak resmi dapat dilihat dalam pembicaraan di kafe, di pasar, di terminal, di rumah, di kebun, di kampus (bukan dalam proses belajar mengajar) antarmahasiswa atau antardosen, dan lain-lain.

Dalam kaitannya dengan penggunaan ragam lisan resmi, penutur cenderung dipengaruhi oleh faktor situasi dan mitra tutur, di samping faktor lain. Umpamanya ketika penutur berbicara dengan atasannya, tentunya gaya bicara dalam hal ragam bahasa yang digunakan berbeda dengan ketika ia berkomunikasi atau berbicara dengan teman sebayanya atau bahwa teman dibawah umurnya.

Selain perbedaan tersebut, ditinjau dari segi norma pemakaiannya, ragam bahasa dibedakan atas ragam baku dan ragam tidak baku. Ragam baku adalah ragam bahasa yang dalam pemakaiannya sesuai dengan kaidah yang berlaku, yaitu kaidah tata bahasa dan ejaan yang berlaku. Sedangkan yang menyimpang atau tidak sesuai dengan kaidah tata bahasa dan ejaan yang berlaku disebut ragam tidak baku.

Kalau dalam pembahasan di atas ragam bahasa dibedakan menjadi ragam lisan resmi, ragam lisan tidak resmi, ragam tulis resmi, dan ragam tulis tidak resmi, maka dalam pembahasan ini akan dibahas adanya perbedaan ragam lisan baku, ragam lisan tidak baku, ragam tulis baku, dan ragam tulis tidak baku. Ragam lisan baku dalam pemakaiannya sejalan dengan ragam lisan resmi dan ragam lisan tidak baku pemakaiannya sejalan dengan ragam lisan tidak resmi. Demikian pula penggunaan ragam tulis baku yang memiliki korelasi dengan ragam tulis resmi dan ragam tulis tidak baku dengan ragam tulis tidak resmi. Pada dasarnya ragam baku digunakan dalam konteks situasi yang resmi dan ragam tidak baku digunakan dalam konteks situasi yang tidak resmi. Dengan demikian penggunaan ragam baku dengan ragam resmi atau ragam tidak baku dengan ragam tidak resmi sering kali dianggap sama oleh sekelompok orang.

Apabila dibedakan berdasarkan bidang pemakaiannya, ragam bahasa dapat dibedakan atas ragam sastra, ragam beku, ragam jurnalistik, ragam teknologi, ragam ekonomi, dan lain-lain. Artinya ragam tersebut digunakan sesuai dengan konteks yang ada dalam situasi tutur tersebut. Dilihat dari segi pendidikan, ragam bahasa dibedakan menjadi ragam pendidikan dan ragam nonkependidikan. Ciri ragam ini, bagi orang yang berpendidikan lazimnya dapat melafalkan bunyi-bunyi bahasa secara fasih dan dapat menyusun kalimat secara teratur dan benar. Sebaliknya, bagi orang yang tidak berpendidikan cenderung kurang dapat memenuhi syarat tersebut.

Lebih lanjut, ihwal penggolongan ragam bahasa Alwi (1998: 3-9) menjelaskan bahwa jika dilihat dari sudut pandang penutur, dapat dirinci menurut patokan daerah, pendidikan, dan sikap penutur. Ragam daerah dikenal dengan sebutan dialek atau logat. Dialek atau logat merupakan ragam bahasa yang hidup di daerah-daerah tertentu yang berdekatan. Jadi apabila masyarakat dari dua daerah yang berdekatan bertemu dan terjadi komunikasi dengan menggunakan dialek masing-masing, mereka masih bisa saling memahami pembicaraan tersebut. Akan tetapi jika dialek tersebut hidup di daerah yang berjauhan yang dibatasi oleh gunung atau selat misalnya, lambat-laun dalam perkembangannya akan mengalami banyak perubahan, maka dialek tersebut akhirnya dianggap bahasa yang berbeda.

Ragam bahasa yang dipengaruhi oleh tingkat pendidikan penutur (terutama pendidikan formal) akan menunjukkan perbedaan yang jelas antara masyarakat yang berpendidikan formal dengan masyarakat yang tidak berpendidikan formal. Perbedaan di sini lebih banyak terjadi dalam pelafalan kata atau bunyi serta penguasaan penggunaan bahasa secara baik (dalam hal tata bahasanya). Kedua hal tersebut akan berbeda tingkat kemampuan dan penguasaan antara orang yang berpendidikan formal dengan yang tidak berpendidikan formal. Misalnya dalam melafalkan kata-kata film, fitnah, dan kompleks, oleh orang berpendidikan formal kata-kata tersebut tentunya akan dilafalkan dengan benar sesuai dengan bunyi fonem yang benar, yaitu film, fitnah, dan kompleks. Akan tetapi berbeda dengan orang yang tidak mengalami pendidikan formal mungkin akan melafalkan dengan pilm, pitnah, dan komplek. Sedangkan dalam hal tata bahasa ketika seseorang mengucapkan “Saya akan bakar itu sampah setelah saya mandi” barangkali orang lain dapat menangkap maksud yang disampaikan. Akan tetapi, dari segi tata bahasa, kalimat tersebut kurang baik. Sedangkan yang baik menurut tata bahasa adalah “Saya akan membakar sampah itu setelah saya mandi”.

Menurut sikap penutur, ragam bahasa mencakupi sejumlah corak bahasa yaitu pemilihannya bergantung pada sikap penutur terhadap orang yang diajak bicara atau mitra tutur. Sikap berbahasa ini diantaranya dipengaruhi oleh umur dan kedudukan mitra tutur, tingkat keakraban antarpenutur pokok persoalan yang dibicarakan (hendak disampaikan) serta tujuan penyampaian informasinya. Ragam bahasa dalam hal ini berhadapan dengan pemilihan bentuk-bentuk bahasa tertentu yang menggambarkan sikap kita yang resmi, santai, dingin, hangat, atau yang lain sedangkan perbedaan berbagai gaya tersebut tercermin dalam kosakata yang digunakan oleh penutur ketika berbicara dengan mitra tuturnya.

4. Pilihan Bahasa

Fenomena pemilihan bahasa juga akan bertemali dengan situasi semacam itu sebab untuk menentukan pemilihan bahasa atau ragam bahasa tertentu, tentu ada bahasa lain atau ragam lain yang ikut digunakan dalam berkomunikasi sehari-hari sebagai pendamping sekaligus pembanding.
Dalam kaitannya dengan situasi kebahasaan di Indonesia, kajian pemilihan bahasa dalam masyarakat di Indonesia bertemali dengan permasalahan pemakaian bahasa dalam masyarakat dwibahasa atau multibahasa karena situasi kebahasaan di dalam masyarakat Indonesia sekurang-kurangnya ditandai oleh pemakaian dua bahasa, yaitu bahasa daerah sebagai bahasa ibu (pada sebagaian besar masyarakat Indonesia), bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, dan bahasa asing. Studi pemilihan bahasa dalam masyarakat seperti itu lebih mengutamakan aspek tutur (speech) daripada aspek bahasa (language). Sebagai aspek tutur, pemakaian bahasa relatif berubah-ubah sesuai dengan perubahan unsur-unsur dalam konteks sosial budaya. Hymes (1972; 1973; 1980) merumuskan unsur-unsur itu dalam akronim SPEAKING, yang merupakan salah satu topik di dalam etnografi komunikasi (the etnography of communication), yang oleh Fishman (1976: 15) dan Labov (1972: 283) disebut sebagai variabel sosiolinguistik.

Hymes (1980) mengemukakan tujuh belas komponen peristiwa tutur (components of speech event) yang bersifat universal. Ketujuh belas komponen itu oleh Hymes diklasifikasikan lagi menjadi delapan komponen yang diakronimkan dengan SPEAKING: (1) setting and scene (latar dan suasana tutur), (2) participants (peserta tutur), (3) ends (tujuan tutur), (4) act sequence (topik/urutan tutur), (5) keys (nada tutur), (6) instrumentalities (sarana tutur), (7) norms (norma-norma tutur), dan (8) genre (jenis tutur). Pandangan Hymes di atas dijadikan kerangka konsep pelaksanaan penelitian ini. Kedelapan komponen peristiwa tutur tersebut merupakan faktor luar bahasa yang menentukan pemilihan bahasa.

Ervin-Trip (dalam Grosjean 1982: 125) mengidentifikasikan empat faktor utama yang menyebabkan pemilihan bahasa, yaitu (1) latar (waktu dan tempat) dan situasi, (2) partisipan dalam interaksi, (3) topik percakapan, dan (4) fungsi interaksi. Faktor pertama dapat berupa hal-hal, seperti: makan pagi di lingkungan keluarga, pesta kuliah, atau berkencan.
Faktor kedua mencakup hal-hal, seperti: usia, jenis kelamin, pekerjaan, status sosial ekonomi, asal, latar belakang kesukuan, dan peranannya dalam hubungan dengan partisipan lain. (contoh: direktur-karyawan, suami-istri, penjual pembeli, guru-siswa). Faktor ketiga dapat berupa: topik-topik tentang pekerjaan, olah raga, harga sembako, peristiwa aktual, dan sebagainya. Faktor keempat dapat berupa hal-hal seperti: penawaran informasi, permohonan, dan mengucapkan terima kasih.

Senada dengan pendapat Ervin-Trip di atas, Grosjean (1982: 136) berpendapat tentang faktor yang berpengaruh dalam pemilihan bahasa. Menurut Grosjean terdapat empat faktor, yaitu (1) partisipan, (2) situasi, (3) isi wacana, (4) fungsi interaksi.
Aspek yang perlu diperhatikan dari faktor partisipan adalah (a) keahlian berbahasa, (b) pilihan bahasa yang dianggap lebih baik, (3) status sosial ekonomi, (d) usia, (e) jenis kelamim, (f) pendidikan, (g) pekerjaan, (h) latar belakang etnis, (i) relasi kekeluargaan, (j) keintiman, (k) sikap kepada bahasa-bahasa, dan (l) kekuatan luar yang menekan.

Faktor situasi mencakup: (a) lokasi atau latar, (b0 kehadiran pembicara monolingual, (c) tingkat formalitas, dan (d) tingkat keintiman. Faktor isi wacana berkaitan dengan (a) topik percakapan dan (b) tipe kosakata. Faktor fungsi interaksi mencakup: (a) strategi menaikan status, (b) jarak sosial, (c) melarang masuk atau mengeluargak sesoorang dari pembicaraan, dan (d) memerintah atau meminta.

Dari jabaran di atas, yang perlu diperhatikan adalah adanya atau jarang terdapat faktor tunggal yang mempengaruhi pemilihan bahasa seorang dwibahasawan/multibahasawan. Yang menjadi pertanyaan adalah “apakah faktor-faktor itu memiliki kedudukan yang sama pentingnya? Umumnya beberapa faktor menduduki kedudukan yang lebih penting daripada faktor lainnya. Di Obewart, Gal (dalam Grosjean, 1982: 143) menemukan bukti bahwa karakteristik pembicara dan pendengar menduduki faktor penentu terpenting. Sedangkan faktor topik dan latar merupakan faktor yang kurang penting daripada faktor partisipan.

Berbeda dengan Gal, Rubin menemukan faktor penentu yang terpenting adalah lokasi interaksi. Rubin meneliti pilihan bahasa Guarani dan Spanyol di Paraguay. Dari penelitian itu dapat disimpulkan bahwa lokasi interaksi, yaitu (1) desa, (2) sekolah, dan (3) tempat umum, sangat menentukan pilihan bahasa oleh pembicara bilingual. Di desa, pembicara akan memilih bahasa Guarani, di sekolah akan memilih bahasa Spanyol, dan di tempat umum memilih bahasa Spanyol (Grosjean 1982: 43).

5. Jenis Pilihan Bahasa

Ada tiga jenis bahasa yang dikenal dalam ujian sosiolinguistik. Pertama adalah alih kode (code switching). Lebih dulu harus diingat, kode adalah istilah netral yang dapat mengacu pada bahasa dialek, sosiolek, atau ragam bahasa. Jika Si A mempunyai B1 bahasa Bali, dan B2 bahasa Indonesia serta juga menguasai bahasa Inggris, dia dapat beralih kode dengan tiga bahasa itu. Bahasa mana yang dipilih bergantung pada lawan bicara, topik dan suasana. Pilihan bahasa yang kedua adalah campur kode (code mixing). Campur kode ini serupa dengan interferensi dari bahasa yang satu ke bahasa yang lain. Dalam campur kode, penutur menyelipkan unsur – unsur bahasa lain ketika sedang memakai bahasa tertentu. Campur kode terjadi pada saat orang berbicara kemudian menggunakan potongan bahasa lain, yang umumnya berupa kata atau frase. Yang ketiga adalah variasi dalam bahasa yang sama (variation with in the same language). Dalam hal ini seseorang penutur harus memiliki ragam mana yang harus dipakai dalam situasi tertentu.

6. Penelitian Sejenis

Berdasarkan hasil studi pustaka yang dilakukan, ada beberapa penelitian tentang fenomena kebahasaan terutama tentang penggunaan bahasa yang relevan dengan penelitian ini. Hasil penelitian ini digunakan sebagai bukti untuk menghindari anggapan bahwa penelitian ini reduplikasi. Adapun kajian pembahasan yang relevan dengan penelitian ini adalah sebagai berikut.
1) Pilihan Bahasa Pramuwisata Pendakian Gunung Batur dalam Berkomunikasi antarpramuwisata pada tahun 2007 oleh I Nengah Selamat. Hasil penelitian menunjukkan (1) pramuwisata pendakian Gunung Batur menggunakan bahasa Bali dengan dialek Songan tetapi penggunaan bahasa Bali tidak secara murni dilakukan karena menyelinapkan kata-kata bahasa Inggris dan kata-kata bahasa Indonesia (2) Pilihan bahasa kerap kali dilakukan oleh para pemandu adalah campur kode. Campur kode dilakukan yaitu (a) penggunaan Bahasa Bali bercampur dengan kata-kata bahasa Inggris, (b) penggunaan bahasa Bali bercampur dengan kata-kata bahasa Indonesia, dan (c) penggunaan bahasa Bali bercampur dengan kata-kata Inggris dan Indonesia.
2) Pilihan Bahasa Masyarakat SMU 4 Singaraja dalam Berinteraksi di Lingkungan Sekolah oleh Ni Luh Putu Wiwit Rahayu tahun 2004. Hasil penelitiannya menunjukkan (1) pilihan bahasa yang digunakan oleh guru, pegawai, dan siswa saat berinteraksi di lingkungan SMU Negeri 4 Singaraja adalah bahasa Bali, bahasa Indonesia secara silih berganti. (2) Pegawai lebih memilih menggunakan bahasa Bali saat berinteraksi dengan guru karena status sosial, untuk menghargai dan menghormati lawan bicara, dan untuk mencapai tujuan, dan (3) siswa lebih memilih menggunakan bahasa Indonesia saat berinteraksi dengan guru atau pegawai karena rasa hormat yang dimiliki oleh siswa, kebiasaan siswa, dan lingkungan yang mengharuskan penggunaan bahasa Indonesia.

3) Alih Kode Dalam Percakapan pada Upacara Peminangan Lintas Wangsa di Desa Batuagung pada tahun 2009 oleh Ni Putu Febri Pertiwi. Hasil penelitian menunjukkan (1) Jenis alih kode yang digunakan dalam percakapan pada upacara peminangan lintas wangsa di Desa Batuagung adalah alih kode antarbahasa dan jenis alihkode antarragam bahasa. Jenis alih kode antarbahasa meliputi (a) Bahasa Indonesia ke bahasa Bali alus sor, (b) dari bahasa Indonesia ke bahasa Bali kasar, (c) dari bahasa Bali kesamen ke bahasa Indonesia, (d) dari bahasa Bali alus madia ke bahasa Indonesia. Jenis alih kode antarragam bahasa meliputi (a) bahasa Bali alus madia ke bahasa Bali alus singgih,(b) dari bahasa Bali kesamen ke bahasa Bali alus sor,(c) dari bahasa Bali kesamen ke bahasa Bali kasar (d) dari bahasa Bali alus sor ke bahasa Bali kesamen, dan (e) dari bahasa Bali alus singgih ke bahasa Bali kesamen. (2) Faktor-faktor penyebab alih kode dalam percakapan pada upacara peminangan lintas wangsa antara lain,(a) faktor kunci (key) mengacu motivasi. (b) situasi (act situation) mencakup perubahahan suasana, (c) act sequent mencakup isi pesan berkaitan dengan perubahan topik, dan (4) wujud rasa hormat.

Dari ketiga penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa perbedaan yang mendasar antara penelitian-penelitian sebelumnya dengan penelitian yang peneliti lakukan terletak pada konsep tentang penggunaan bahasa. Selain itu juga wilayah garapan berbeda, daerah garapan peneliti di desa Petiga, Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan, sedangkan penelitian yang pertama, wilayah garapannya di Kabupaten Bangli tepatnya di desa Songan. Penelitian kedua, wilayah garapannya sekolah. Penelitian ketiga garapannya di desa Batuagung.

Selain itu arah permasalahan pada setiap skripsi juga memiliki perbedaan walaupun sama-sama membahas mengenai pilihan berbahasa. Seperti pada penelitian yang pertama, pembahasannya lebih menunkik pada bagaimana penggunaan bahasa pramuwisata dalam berinteraksi dengan pelanggannya. Penelitian kedua lebih menukik pada pilihan bahasa yang digunakan oleh pegawai, siswa,maupun guru pada lingkungan sekolah. Penelitian ketiga hampir sama dengan penelitian ini yang membahas mengenai pilihan bahasa juru bicara dalam prosesi peminangan. Akan tetapi masih ada perbedaan yang melekat pada penelitian yang ketiga dengan penelitian ini. Penelitian yang ketiga lebih menukik pada peminangan dengan tradisi patrilinial sedangkan pada penelitian ini menukik pada peminangan dengan tradisi matrilinial. Cakupan penelitian yang ketiga hanya membahas lintas wangsa saja sedangkan cakupan penelitian ini membahas peminangan lintas wangsa dan sesama wangsa juga. Selain itu, pada penelitian yang ketiga lebih memfokuskan alih kode sedangkan penelitian ini lebih memfokuskan penggunaan bahasa.

Skripsi di atas memiliki kelemahan-kelemahan yaitu pada penelitian ketiga tentang perkawinan lintas wangsa. Seharusnya mencantumkan informasi tentang apa itu perkawinan lintas wangsa dan bagaimana bentuk perkawinan tersebut menjadi modal awal pembuatan sebuah laporan penelitian atau bisa dikatakan sebagai data awal yang menjadi dasar pembuatan karya ilmiah tersebut. Selain itu, pencatuman informasi tersebut dapat memudahkan pembaca di dalam memahami dan memberi penggambaran awal tentang penelitian itu sendiri.


G. Metode Penelitian

1. Rancangan Penelitian

Rancangan pada dasarnya merupakan keseluruhan proses pemikiran dan penentuan matang tentang hal-hal yang akan dilakukan. Ia merupakan landasan berpijak, serta dapat pula dijadikan dasar penilaian baik oleh peneliti itu sendiri maupun orang lain terhadap kegiatan penelitian. Rancangan penelitian bertujuan untuk memberi pertanggungjawaban terhadap semua langkah yang akan diambil (Margono, 2009: 100). Adapun rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Penelitian deskriptif kualitatif digunakan untuk mendeskrisikan tentang hasil observasi, wawancara dan dokumentasi. Data yang dicari dalam penelitian ini adalah penggunaan bahasa dalam prosesi Nyentana yang dilakukan di Desa Petiga Kecamatan Marga Tabanan.

2. Subjek dan Objek Penelitian

Subjek penelitian adalah benda, hal, atau orang tempat variable melekat, dan yang dipermasalahkan dalam penelitian (Suharsimi dalam Suandi, 2008:31). Adapun yang menjadi subjek dalam penelitian ini adalah pembicara dalam prosesi Nyentana, prujuru adat, dan bendesa adat. Objek penelitian ini adalah penggunaan bahasa dalam prosesi Nyentana.

3. Metode Pengumpulan Data

Adapun metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut.

No Jenis Data Metode/ Teknik Instrumen

  1. Penggunaan bahasa dalam prosesi peminangan Nyentana Observasi dan Wawancara tidak terstruktur Alat Perekam/tape recording/ perekaman video
  2. Faktor yang memengaruhi penggunaan bahasa dalam prosesi peminangan Nyentana Wawancara tidak terstruktur Alat perekam/tape recorder
  3. Dampak yang ditimbulkan dalam penggunaan bahasa pada peminangan Nyentana Observasi Alat perekam video
Dilihat dari tabel di atas, dalam penelitian ini, peneliti menggunakan tiga jenis data. Data mengenai penggunaan bahasa dalam prosesi peminangan Nyentana yang dikumpulkan dengan teknik observasi dan wawancara tidak berstruktur dengan instrument alat perekam berupa video. Data mengenai faktor yang memengaruhi penggunaan bahasa dalam prosesi peminangan Nyentana dikumpulkan dengan metode wawancara tidak berstruktur dengan instrument tape recording dan data tentang dampak yang ditimbulkan dalam penggunaan bahasa pada prosesi peminangan Nyentana dikumpulkan dengan instrument alat berupa perekaman video.

a. Observasi
Penelitian ini akan menggunakan metode observasi dengan partisipasi. Dengan kata lain peneliti akan berbaur secara langsung dengan objek yang diteliti. Penggunaan metode observasi dengan partisipasi ini, akan memudahkan peneliti mencari data yang diperlukan. Karena subjek yang diamati akan melakukan kegiatan dengan semestinya tanpa merasa terganggu dengan kehadiran peneliti. Metode ini digunakan untuk mengamati fenomena-fenomena penggunaan bahasa dalam prosesi peminangan dalam tradisi Nyentana. Desa Petiga Marga Tabanan dalam situasi (percakapan) langsung maupun melalui narasumber. Untuk mendapat metode yang akurat, dilakukan perekaman video agar percakapan dan situasi dalam percakapan dapat didapatkan sekaligus. Dalam observasi, peneliti membuat catatan lapangan. Catatan lapangan memuat gambaran menggenai penggunaan bahasa yang terjadi saat peneliti terjun ke lapangan. Peneliti akan melakukan lima unsur pengamatan yaitu:
1. Latar (setting) yaitu merujuk pada aspek fisik dari latar. Peneliti akan mencari jawaban pertanyaan-pertanyaan berikut:
a) Bagaimanakah lingkungan fisik Desa Petiga Kecamatan Marga Tabanan dalam pelaksanaan prosesi Nyentana?
b) Bagaimanakah situasi yang tergambar dalam pelaksanaan prosesi Nyentana?
2. Peneliti akan mencari tahu siapa saja yang terlibat dalam prosesi Nyentana di Desa Petiga Kecamatan Marga Tabanan.
a) Siapa sajakah yang ada dalam prosesi Nyentana di Desa Petiga Kecamatan Marga Tabanan?
b) Berapa banyak orang-orang yang terlibat dan apakah peran masing-masing orang tersebut?
c) Mengapa mereka ada disana?
d) Siapakah yang boleh dan tidak boleh ada dalam prosesi Nyentana tersebut? Mengapa?
3. Peneliti mencari jawaban kegiatan dan interaksi dalam prosesi Nyentana di Desa Petiga Kecamatan Marga.
a) Apa yang terjadi saat berlansungnya prosesi Nyentana?
b) Apakah ada kegiatan urutan yang tetap dalam prosesi Nyentana di Desa Petiga Kecamatan Marga?
c) Bagaimanakah responden berinteraksi satu sama lain dalam prosesi Nyentana tersebut?
d) Bagaimanakah interaksi itu saling berhubungan?
4. Frekuensi dan durasi yaitu peneliti mencari jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan dibawah ini:
a) Kapan prosesi Nyentana itu mulai terjadi dan berakhir?
b) Berapa lama prosesi Nyentana itu berlangsung?
c) Apakah prosesi Nyentana itu berulang dalam periode tertentu?
5. Peneliti juga akan melakukan pengamatan terhadap hal berikut ini.
a) Kegiatan informal yang tidak terencana.
b) Makna simbolik dan konotaif dari kosakata yang digunakan.
c) Komunikasi nonverbal seperti pakaian dan tata ruang.
d) Apa tak yang terjadi padahal semestinya terjadi.
Dalam pelaksanaan metode observasi ini, peneliti akan menggunakan alat bantu berupa alat perekam baik gambar, suara maupun video.

b. Wawancara

Wawancara atau interview adalah suatu cara untuk mengumpulkan data dengan mengajukan pertanyaan langsung kepada seorang informan atau seorang autoritas (Keraf, 2001:161). Metode ini menggunakan teknik wawancara tak terstruktur. Dengan teknik ini, peneliti akan mencoba menggali informasi mengenai penggunaan bahasa dalam prosesi Nyentana pada pihak yang terlibat langsung didalamnya. Adapun contoh pertanyaan yang akan peneliti ajukan adalah:
a) Bahasa dan ragam bahasa apa sajakah yang digunakan dalam prosesi Nyentana di Desa Petiga Kecamatan Marga?
b) Adakah pengaruh pengunaan bahasa yang santun dalam prosesi Nyentana tersebut?
c) Apakah prosesi Nyentana di Desa Petiga Kecamatan Marga memiliki stuktur pelaksaanan yang baku?
d) Pernahkah ada peristiwa yang tidak diharapkan terjadi dalam prosesi Nyentana di Desa Petiga Kecamatan Marga?

c. Dokumentasi
Penggunaan teknik dokumentasi dalam penelitian, menurut Sukardi (2008:81), memungkinkan peneliti memperoleh informasi dari bermacam-macam sumber tertulis atau dokumen yang ada pada responden atau tempat responden bertempat tinggal atau melakukan kegiatan sehari-harinya. Arikunto (2008:321) menambahkan, metode dokumentasi dapat digunakan untuk mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, lengger, agenda, dan sebagainya.
Selain itu, Arikunto (2008:321) juga menjelaskan bahwa dibandingkan dengan metode lain, metode ini tidak begitu sulit, dalam arti apabila ada kekeliruan, sumber datanya masih tetap, tidak berubah. Dengan metode dokumentasi yang diamati bukan benda hidup melainkan benda mati. Dalam penelitian ini, data yang dicari dengan metode dokumentasi yaitu video atau gambar proses berlangsungnya prosesi Nyentana yaitu berupa situasi yang tergambar dalam raut wajah responden, tata ruang dan hal-hal penting lainnya yang mungkin akan peneliti peroleh dalam penelitian
Selain itu, metode dokumentasi ini juga akan dipergunakan dalam mendokumentasikan surat-surat penting serta awig-awig pernikahan dalam prosesi Nyentana di Desa Petiga Kecamatan Marga Tabanan.
4. Pengolahan Data
Jenis penelitian yang peneliti gunakan merupakan jenis penelitian deskriptif kualitatif. Sugiyono (2009:335) menjelaskan, analisis data kualitatif bersifat induktif, yaitu suatu analisis berdasarkan data yang diperoleh, selanjutnya dikembangkan pola hubungan tertentu atau menjadi hipotesis.
4.1 Tabulasi Data
Tabulasi data merupakan kegiatan menggabungkan semua data yang didapat selama melakukan penelitian di lapangan. Data akan didaftarkan dan diklasifikasikan sesuai dengan karakter dan ciri-cirinya masing-masing untuk mempermudah melakukan analisis lebih lanjut.
4.2 Reduksi Data
Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya dan membuang yang tidak perlu. Dengan demikian data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang jelas, dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya, dan mencarinya bila diperlukan (Sugiyono, 2009:338).
4.3 Penyajian Data
Setelah data direduksi, langkah selanjutnya adalah menyajikan data. Dalam penelitian kualitatif, penyajian data bisa dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, flowchart dan sejenisnya (Sugiyono, 2009:341).
4.4 Klasifikasi Data
Pada tahap ini dilakukan pengklasifikasian data atau pengelompokan data sesuai dengan sub-submasalah yang telah dikemukakan dalam rumusan masalah. Kalsifikasi data dilakukan setelah data dari observasi disajikan. Klasifikasi data adalah menggolongkan data yang telah terseusun atau yang sudah terpilih sesuai dengan kategori-kategori tertentu, kemudian dilakukan pengkodean yaitu memberikan kode-kode tertentu untuk menandai data sesuai kategori yang ada.
4.5 Analisis Data
Analisis data terhadap penggunaan bahasa dalam prosesi peminangan Nyentana dilakukan pada data yang telah terseleksi dan diklasifikasikan menurut kelompk. Aspek-aspeknya kemudian dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif. Yang dideskriptifkan adalah hasil analisis kecendrungan penggunaan bahasa dalam prosesi peminangan Nyentana di Desa Petiga, Marga, Tabanan.
4.3 Penarikan Simpulan
Langkah terakhir adalah penarikan simpulan. Hasil penelitian ini secermat mungkin menggambarkan tentang apa yang dikaji, yaitu tentang penggunaan bahasa pada rosesi Nyentana di Desa Petiga Kecamatan Marga Tabanan.

Daftar Pustaka

Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik (Edisi Revisi VI). Jakarta: PT Rineka Cipta ( eprints.undip.ac.id/10654/ )
Chaer, Abdul,dkk. 1995. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta. Rineka Cipta.
Pertiwi,Febri.2009.Alih Kode Dalam Percakapan pada Upacara Peminangan Lintas Wangsa di Desa Batu Agung. Singaraja:Universitas Pendidikan Ganesha
Rahayu, Wiwit. 2004. Pilihan Bahasa Masyarakat SMU 4 Singaraja dalam Berinteraksi di Lingkungan. Singaraja: Universitas Pendidikan Ganesha.
Selamet. 2007. Pilihan Bahasa Pramuwisata Pendakian Gunung Batur dalam Berkomunikasi antarpramuwisata. Singaraja: Universitas Pendidikan Ganesha
Suandi. 2008. Pengantar Metodelogi Penelitian Bahasa. Singaraja: Universitas Pendidikan Ganesha
Sugiyono. 2009. Metode penelitian pendidikan pendekatan kauntitatif, kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Sukerti. 2011.Gender Dalam Hukum Adat. Denpasar: Fakultas Hukum Universitas Udayana.

Sumber internet:
Koran TOKOH - Selasa, 04 Januari 2011. Geger Dayu Diperistri Lelaki Jaba.http://www.parisada.org/index.php?option=com_content&task=view&id=1782&Itemid=107 (diunduh tanggal 28 Oktober 2011 13.30 WITA)
Kubujingga. 2010. Pro Kontra Perkawinanan Nyentana. http://kubujingga.blogspot.com/2010/02/nyentana-sah-menurut-manawa.html (diunduh tanggal 28 Oktober 2011 13.30 WITA)
Anonim. 2011. Inovasi Pembelajaran Bahasa. http://fathurrokhmancenter.wordpress.com/sosiolingiustik/ (diunduh tanggal 28 Oktober2011 13:35 WITA)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar