Sabtu, 31 Desember 2011

PLTN; BERANI MAJU, BERANI BERESIKO


Kegelisahan yang didasari oleh ketakutan terhadap dampak negatif pemanfaatan energy nuklir ini dirasa wajar saja mengingat suatu inovasi baru memang akan selalu diikuti dengan penerimaan atau penolakan. Banyak orang menolak keberadaannya, tetapi tidak sedikit pula yang menyetujuinya dibangunnya PLTN, termasuk saya. Jika melihat kebutuhan energi di Indonesia yang cukup besar yaitu mencapai 100.000 megawatt, pembangkit listrik di luar tenaga nuklir serasa belum mampu memenuhi semuanya. Seperti geothermal kemungkinan energy yang diperoleh hanya 9.000 megawatt. Untuk sumber energi hidro, Indonesia kemungkinan hanya akan menghasilkan energi setara 10.000 megawatt. Sementara itu, jika memanfaatkan energi matahari, selain mahal dalam hal investasi, dibutuhkan sel surya seluas 20 kilometer persegi untuk memperoleh energi sebesar 1.000 megawatt. Jika yang akan dikembangkan adalah bioenergi, maka untuk mendapatkan energi sebesar 1.000 megawaat setidaknya dibutuhkan lahan untuk penanaman bahan baku seluas 300 kilometer persegi. Singkat cerita, pembangkit listrik di luar nuklir hanya mampu memenuhi enam puluh persen dari permintaan yang ada sehingga mengakibatkan banyak daerah di Indonesia belum terjangkau listrik. Lain halnya dengan nuklir. untuk memperoleh energi sebesar 1.000 megawatt, cukup dibutuhkan 1 unit reaktor nuklir,tentu hal ini akan menghemat biaya dan kebutuhan terhadap energi bisa terpenuhi.
Membahas mengenai pengembangan nuklir, tentu Negara berkembang seperti Indonesia yang memiliki jumlah penduduk terbesar kelima di dunia tidak perlu ditunda lagi. Seperti yang dikatakan oleh Pakar nuklir Institut Teknologi Bandung (ITB), Prof. Zaki Su’ud yang dikutip pada Koran Pos Kota mengatakan, jika dilihat dari sisi kesiapan, Indonesia adalah negara paling siap, dibanding dengan negara lain di kawasan Asia Tenggara. Dilihat dari sisi kecukupan bahan baku pun, kandungan uranium di perut bumi Indonesia bisa mencukupi kebutuhan puluhan, bahkan ratusan tahun.
Tidak bisa dipungkiri lagi, kebutuhan terhadap energy akan terus menjulang naik, mengingat perkembangan teknologi yang semakin pesat. Apa-apa menggunakan listrik. Hp,televisi,mesin cuci, laptop dan berbagai kebutuhan rumah tangga lainnya membutuhkan listrik. Bagaimana cara memenuhi semuanya dengan keadaan ekonomi Negara kita sekarang? Nuklir adalah jawaban permasalahan ini. Setidaknya, kita harus berani menanggung resiko demi kelancaran hidup Negara sendiri. Sampai kapan Negara Indonesia harus selalu terbelenggu oleh ketakutan. Kapan berkembangnya?
Memang, tidak dipungkiri penggunaan energy nuklir sebagai pembangkit listrik sangat beresiko dan berdampak mengerikan pada lingkungan, tetapi perlu diingat lagi bahwa semua hal di dunia mengandung baik dan buruk, untung dan rugi, positif dan negatif. Tidak ada yang benar-benar menguntungkan seratus persen. Jika kita selalu takut dengan resiko, mungkin tidak akan pernah ada perkembangan atau revolusi.
Mulailah untuk menghapuskan rasa khawatir dan rasa tidak percaya terhadap kinerja pemerintah (khususnya bagian SDM yang mengelola energy nuklir) dan ubahlah ketakpercayaan itu menjadi dukungan. Tentunya, dukungan tersebut akan menjadi penyemangat mereka dalam bekerja. Penghargaan dan rasa percaya tentu akan membuat mereka mau bekerja keras dan tidak asal-asalan. Menyalahkan dan mengkritik yang tidak dibarengi oleh solusi merupakan salah satu faktor yang membuat mereka ragu dan takut dalam menjalankan tugasnya.
Sungguh disayangkan jika ungkapan skeptis dan pesimis terhadap kemampuan SDM Indonesia dalam teknologi nuklir, tidak lebih dari sebuah mental inferior yang telah ditanamkan penjajah kepada kita selama bertahun-tahun, sehingga pemikiran ini bak warisan yang diturunkan terus dari generasi ke generasi, sehingga kita selalu berpikiran bahwa bangsa lain lebih hebat dari kita, bangsa lain lebih pandai dari kita. Padahal pada kenyataannya sekali-kali tidaklah demikian. Mental inferior inilah yang harus dihapuskan dari pemikiran para generasi muda jika bangsa kita ingin maju. Sejarah telah membuktikan bahwa kita mampu merdeka dengan keringat dan darah kita sendiri, dan bukan merupakan pemberian orang lain. Ini sebenarnya merupakan tanda bahwa kita adalah sejajar dengan bangsa - bangsa lain, bahwa bangsa ini merupakan bangsa besar yang juga mampu untuk melakukan apa yang bangsa lain telah lakukan demi kemajuan negerinya.  (jj)

Aku dan Tahun Baru 2012

Tahun Baru telah terlewat begitu saja tanpa keistimewaan yang berlebih. Seolah kontras denganku, di luar sana orang-orang bersuka ria menyambut sang penghujung tahun. Sedikit iri memang, ketika aku melihat kemegahan suka cita yang mereka ungkapkan tadi malam. Aku hanya mengintip dari sudut jendela kamar yang tak jauh dari jalan desaku. Tak banyak yang bisa ku lakukan, hanya menatap mereka. Aku terlampau malas menjejakkan kaki keluar dan ikut berpesta dengan mereka. entahlah mengapa demikian. Aku hanya asik dengan dunia sepiku yang sudah ku anggap gemerlap walaupun pada kenyataannya, hanyalah kesunyian abadi. Aku terlampau takut mencari dunia baru yang menurutku tak sesuai denganku. Jadilah aku anak pingitan yang lebih suka di dalam kamar. Aktivitasku hanya menatap laptop dan mencari kesenangan sendiri. Di rumah aku cukup bersama kedua orang tuaku. Itu lebih dari cukup, tanpa teman, tanpa pacar yang selalu menemani. Ah mereka juga memiliki acara sendiri.

Tetapi aku akan tetap berbagi ucapan selamat karena bagaimana juga, tahun baru ini adalah alasan yang baik untuk berbagi kebahagiaan dengan orang-orang terkasih, ya kan?

Berbicara tentang tahun baru, kebanyakan orang pasti akan bertanya tentang hal-hal apa yang sudah dicapai tahun lalu? apa yang sudah dilakukan? apa yang belum? Wah.. menjawab itu aku serasa bingung juga. Tak banyak yang bisa dicapai dan tak banyak yang aku lakukan. Yang jelas adalah, di tahun baru ini, aku ingin memperbaiki yang terdahulu dan mengejar mimpi yang tertunda tahun lalu. Hm.. so simple!
MENGENANG KEMBALI TAHUN LALU 

DRAMA KURSI

Foto ini diambil ketika kuliah drama semester 3. Drama yang kami bawakan dulu berjudul Kursi, pemeran utamanya Putri Puspita sari (Nyonya Bandar). Nah kalau aku jadi Jongos Maya. hehe.. Walau hanya sekedar jongos, ya setidaknya seru juga. wkwkwk..Karena ikutan main drama, aku jadi tertarik dengan dunia peran. Hahaha.. rasanya ingin bermain teater dan drama lagi-mengekspresikan diri-gila-gilaan.Haha..
 Canda-tawa yang tak lekang oleh waktu, terabadikan di foto ini. Persiapan drama yang bikin stres tidak tergambar jelas dalam raut wajah mereka. Kapan ya bisa kayak gini lagi?










Aku uda mirip pembantu beneran, lengkap dengan serbet dipundak dan sapu bulu di tangan. Tetapi, muka-muka orang di foto ini serem-serem banget ya? wew.. kayak hantu! tiba-tiba semua berubah menjadi putih.wkwkwwk.

Btw, si Dedy ngapain bawa pistol tuh? Wah jangan tembak saya, saya ga punya uang!!!



Biar tak penasaran, di bawah ini ada beberapa adegan pementasan drama kami.











Banyak hal yang terjadi di tahun lalu. Hm... seolah baru kemarin terjadi.

(bersambung...)


Jumat, 30 Desember 2011

Jerit Hatiku

Membahas tentang Nyentana, membuatku harus kembali melihat kewajiban seumur hidupku. Sebenarnya aku tidak setuju dengan tradisi ini karena hanya sebuah tameng yang ujung-ujungnya merugikan si Wanita sendiri. Status yang berubah namun kewajiban tetap sama, bedanya hanya nama. Apa artinya itu? 

Aku adalah salah satu wanita dengan kewajiban itu. Aku telah memasrahkan hidupku ketika kewajiban itu harus melekat dan mengikat jalan hidupku. Keegoisan untuk mendapatkan kebebasan mungkin tercermin dari keluhanku ini, tetapi ini adalah hidupku yang kucecap akibat karma terdahulu. Orang boleh menhujat pernyataanku ini. Terserah apa yang akan keluar dari mulut mereka. Mereka tak mengerti apa-apa. Yang merasakan itu Aku! Yang sakit itu Aku! Mengapa mereka sok tau!

Haruskah aku terikat oleh tradisi yang entah untuk menguntungkan siapa? Setiap hari, orang-orang menceramahiku, mengingatkanku dengan semua kewajiban yang tak berlogika itu. 

Di sini aku adalah wanita yang takut 
Ketakutan akan dijadikan budak tradisi.

Namun aku harus kembali pada kenyataan. aku hanyalah secuil debu yang tak mungkin menghancurkan karang. Aku rapuh. Aku takkan menjadi perubah apapun. Aku hanya dapat menjerit dalam hatiku tanpa bisa berucap, tanpa bisa bergerak. Aku statis. Aku akan menerimanya. Aku akan menjadi anak penurut demi terlunaskannya hutang-hutangku kepada orang tuaku. Aku akan membayarnya dengan tubuhku. .


Menurut pakar hukum adat Prof. Dr. Wayan P. Windia, S.H., M.Si., perkawinan Nyeburin atau Nyentana terjadi jika sebuah keluarga memiliki anak perempuan tunggal atau beberapa anak perempuan. Jika ada beberapa anak perempuan biasanya salah satu buah hati pasutri tersebut dikukuhkan statusnya sebagai ‘laki-laki’ atau purusa melalui perkawinan nyentana atau nyeburin. Ujung pengukuhan ini menobatkan anak perempuan tadi menjadi sentana rajeg. “Setelah sah kawin, suaminya ikut istri dan berstatus sebagai ‘perempuan’ atau pradana di keluarga sang istri,” katanya.

Gambar ilustrasi: http://warnawarnihariku.files.wordpress.com/2011/03/cry1.jpg?w=430&h=330

Aku dan Pikiran Dewasaku


Menjadi seorang mahasiswa memang susah-susah-gampang. Tugas dan tugas! seharusnya itu tak menjadi bebanku,tetapi aku terlanjur menganggapnya batu besar yang memberatkanku.

"Hm.. tak sepantasnya kamu mengeluh ditengah keberuntungan yang kau dapat kini. Tak banyak yang bisa sepertimu. Kamu tak seharusnya begini." pikiran dewasaku berkomentar.

Lewat celah pandangan yang berbeda "pikiran dewasaku" selalu muncul ketika aku mengeluh tentang sesuatu. Dia selalu ada dan memberikan fakta tentang aku dan kehidupanku-menjawab semua hal yang mungkin tidak bisa dipecahkan akal sehatku.Terkadang dia adalah  penasehat pribadi yang telah menyatu dalam diriku. Dia tidak dapat dilihat secara kasat mata namun dia selalu hadir ketika aku menghayalkannya.

"Kamu itu, enggak tahu diri! Orang tuanmu di rumah sudah berkorban banyak untukmu! sebagian gaji bapakmu telah ditransfer ke ATM-mu. Itu dia lakukan agar kamu bisa kuliah dengan baik di sini. Mereka rela tidak makan daging demi memenuhi lalapan yang kau beli sekarang. Kamu anak emasnya Juli, mengapa kamu menyerah dengan beban sekecil ini? beban orang tuamu lebih berat lho!"

Sejenak aku memikirkan kata-kata itu. Sayangnya, kata-kata itu tak berefek lama. Aku kembali mengeluh dan mengeluh. 

"Yang salah siapa? Tugas itu seharusnya sudah kau buat jauh-jauh hari.. Pantas saja kau merasa tugas-tugas itu berat"ucap pikiran dewasaku lagi sambil menatap malas padaku.  Dia nampak kesal dengan keluhan-keluhanku.

"Yang malas 'kan kamu, kok malah cari kambing hitam sih? Salah ya salah aja.. Enggak usah ngeluh ama kewajibanmu. Mengeluh akan membuat kewajibanmu tambah berat lho! "

Kupikir itu benar juga. Ini memang berawal dari kemalasanku dan kebiasaan menunda sesuatu.

"Jika dipikir-pikir, tugas-tugas yang diberikan disemester ini cukup asik dan sesuai bidang yang kamu sukai, jadi mengapa mengeluh? kamu seharusnya bisa mengembangkan diri dan menunjukkan kemampuanmu."

Hadeh.. okelah aku memang salah. aku menyadarinya sekarang. Pangkal masalah ada pada diriku. Seharusnya aku tak menyalahkan tugas yang menumpuk tetapi pada kemalasanku yang berakar. Maaafkan aku pikiran dewasa.

" Aku tak menyalahkanmu, aku hanya kesal dengan keluhanmu. aku lelah mendengar omelan-omelanmu. Tak sepantasnya kamu mencari kambing hitam dari kesalahanmu diri sendiri. mengapa kau selalu begitu?"

Aku tak dapat berkata apa-apa kalau kau telah berkata begitu pikiran dewasa. Aku terlanjur malu mendengar ceramahmu.

Akhirnya aku yang kalah. Aku tak pernah menang menghadapi pikiran dewasaku sendiri. . .
(bersambung...)

 Gambar ilustrasi: http://uniqpost.com/wp-content/uploads/2011/08/mahasiswa-wisuda11.jpg

Selasa, 27 Desember 2011

Keajegan Pantangan Tak Memakan Ikan Julit di Desa Petiga,Marga,Tabanan

Jaman dahulu, ada sebuah desa yang sangat miskin bernama Gumi Bangsule. Keadaannya sangat memprihatinkan. Kemarau yang tak berkesudahan melanda desa tersebut bertahun-tahun. Wabah penyakit merajalela; merenggut senyum yang tak pernah tersungging dari bibir penduduknya. Wajah-wajah lusuh, membalut suasana pedesaan yang jauh dari kata “Indah”. Tanah pertanian yang tak pernah tergenang air kini telah menjadi bongkahan padat tak terurus. Tanaman-tanaman tak mau tumbuh, seolah enggan memberikan penghidupan bagi desa Gumi Bangsule. Pada suatu ketika, jerit tangis penderitaan penghuni desa Bangsule didengar oleh Ida Betari Danuh.. Akhirnya, beliau pun memerintahkan Ida Betara Manik Kumawang membantu desa itu dengan berstana di gunung Beratan. Ida Betara Manik Kumawang pun menyanggupi perintah tersebut, dan berangkatlah Beliau ke gunung Beratan. 

Lama beliau berstana di gunung Beratan, tetapi tidak membuahkan hasil yang manis. Desa Gumu Bangsule tetap ada pada lingkaran kesengsaraan yang tak berkesudahan. Oleh sebab itu, Ida Betara Manik Kumawang melakukan semedi di tengah-tengah danau Beratan. Beliau mengapung di atas air danau selama beberapa tahun untuk melakukan semedi. Akan tetapi, semedi itu terganggu oleh seekor ikan yang sangat besar dan sakti. Ikan tersebut berada tepat di bawah Ida Betara Manik Kumawang yang bersemedi. Rupanya, ikan tersebut juga melakukan semedi. Sayangnya, semedi yang dilakukan ikan besar itu, membuat semedi beliau gagal. Oleh sebab itu, Ida Betara Manik Kumawang murka. Beliau lalu mengeluarkan sebuah kutukan. Tiba-tiba langit mendung. Petir menyambar. Banjir besar, pun datang menghanyutkan semua penghuni danau Beratan termasuk sang Ikan besar. Ikan tersebut terseret arus sampai ke sungai Yeh Sungi., tepatnya di Alas Petiga, desa Gumi Bangsule. Keganasan banjir itu membunuh sang Ikan besar. Mayatnya pun terdampar di tepi sungai Yeh Sungi. 

Beberapa hari kemudian, mayat sang Ikan Besar mengeluarkan bau busuk yang sangat menyengat. Bau busuk itu pun sampai ke danau Beratan dan kembali mengganggu konsentrasi Ida Betara Manik Kumawang. Beliau pun mencari tahu asal bau menyengat tersebut. Beliau menyusuri hutan hingga sampai di Alas Petiga. Bau busuk itu pun semakin tajam tercium. Akhirnya, beliau mendapati mayat sang Ikan besar tergeletak di tepi sungai Yeh Sungi. Untuk memusnahkan bau busuk yang ditimbulkan oleh mayat sang Ikan besar, akhirnya beliau memutuskan untuk melebur tubuhnya. Tiba-tiba keajaiban terjadi, sang Ikan Besar hidup kembali. Sontak, Ida Betara Manik Kumawang terkejut. Sang ikan Besar, lalu meminta maaf pada Ida Betara Manik Kumawang karena telah mengganggu semedinya. Sebagai gantinya, ia bersedia mengorbankan dirinya dan berstana di alas Petiga. Dia berjanji akan memakmurkan penduduk Gumi Bangsule. Ida Betara Manik Kumawang pun menerima maaf sang Ikan Besar. Lalu diubahlah sang Ikan Besar menjadi seekor ikan yang kecil berbadan panjang seperti belut ( disebut juga be Julit). Sang ikan besar yang telah diubah wujudnya itu pun meloncat ke sebuah tebing. Tak berapa lama, gempa terjadi. Tebing yang tadinya kokoh, tiba-tiba terbelah menjadi dua dan mengeluarkan air. Pada tebing itu pula, terbentuk sebuah kolam kecil yang merupakan stana sang Ikan. Sejak kejadian itu, perubahan mulai dirasakan desa Gumi Bangsule. Kini, desa tersebut tak lagi melarat seperti dulu, kehidupan telah membaik di sana. Sebagai tanda terima kasih kepada sang Ikan, masyarakat Gumi Bangsule berjanji tidak akan memakan ikan Julit. Selain itu, penduduk Bangsule juga membuatkan pelinggih di sana. Tempat itu kemudian diberi nama Pura Toya Bubuh. 

Kepercayaan orang Gumi Bangsule (sekarang di sebut desa Petiga) tentang pantangan untuk tidak memakan be Julit masih ajeg sampai sekarang. Mereka meyakini bahwa siapa saja yang memakan be Julit (khususnya penduduk Petiga dan orang yang pernah sembahyang di Pura Toya Bubuh), kulitnya akan bersisik seperti ikan dan mengeluarkan nanah. Jangankan memakan dan membunuh, melangkahi bangkai ikan Julit saja akan memberikan efek yang sama. 

Sumber Asli: Lontar Tri Lingga Tatwa. 
Diterjemahkan dalam Bahasa Bali oleh I Gusti Ketut Putera (Jero Alit Kalaran Belayu) 
Diceritakan kembali dengan sedikit perubahan (dalam bahasa Indonesia) oleh Juliasih

Senin, 12 Desember 2011

suara hati


bakti srage 4/04/2011

Aku kembali menyulut kesalahan baru
tak kuasa aku teteskan rintihan rasa bersalahku
aku memulainya lagi dan lagi
penyesalan adalah kata klise yang selaluku rasakan
aku mungkin hanyalah seorang manusia tolol
yang selalu mengulang kesalahan lagi dan lagi
aku terlanjur malu menatapnya
menatap cintaku dan hasratku


GKU 29/03/2011
renungan

aku makin tak mengerti orang
semakin tidak mengerti hati individu.
tersadar bahwa kita tak mungkin mampu mengerti semua orang
individu adalah unik.
ia memiliki ciri khas yang tak mungkin bisa dipahami satu persatu
aku sebenarnya ingin mengenal hati setiap orang dan hal yang kulakukan demi melengkapi aku dan mengobati keegoisanku
salahkah bila aku mencari arti dalam perenunganku?

GKU

Jauh ku memandang ke jendela tampak olehku sang awan murka dalam gelapnya
dekat ku memandang ke depan
sang manusia berkuar-kuar memberi ilmu yang mungkin kutangkap
namun tak tergubris
tak lama,rintikan mulai turun
aku mulai jenuh
aku ingin berlari bersama mentari
hempaskan awan gelap yang halangi jalanku
"aku jenuh"
langit yang terbalut kelam

aku percaya kamu

Masih kucicipi manisnya tawamu kemarin
Aku terlena dan membuatku bahagia
kau adalah ungkapan hati yang membelai kalbuku
aku takkan mampu hapuskan
jauh-jauh hari, kau titipkan rindu bersamaku
lewat celah-celah yang kau sebut cinta
kau sisipkan "percaya" dalam kekosonganku

tenanglah sayang, aku percaya
aku telah benar-benar menata hatiku,
dan tentunya kamu tak usah pusing
dengan kelakuanku yang terdahulu
Aku mulai mengenal hatimu
dan memberanikan diri untuk percaya kamu
mimpiku adalah harapanku
kau adalah mimpiku
kau adalah harapankku
kau laksana embun yang ku teguk tiap pagi
penyejukku dan sekitarmu
aku percaya kamu

baktisrage 31/03/2011

Vesya


“Mama! Mama! Lihat, lihat!!” seru Patrisia. Ia nampak senang melihat lautan rumput yang membentang di depannya. Begitu hijau; menghanyutkan asa; tenggelamkan penat dan jadikan Sang mata terpesona. Setengah berlari, ia pun menuju bukit fantasi yang sangat diinginnkannya. Keinginannya adalah segera menyatukan diri dengan kehijauaan itu. Bersama Lessy,anjingnya, dia meluapkan kebahagiannya itu di sebuah padang rumput hijau. Mengejar kupu-kupu adalah kegiatan pertamanya. Namun aneh, tak satu pun bunga nampak sejauh mata memandang. Hanya terlihat rerumputan luas diselingi pohon –pohon rindang di beberapa tempat. Mengapa ada banyak kupu-kupu? Padahal tak ada bunga yang tumbuh di sekitar sini. Memang sangat aneh, tapi Patrisia tak ambil pusing masalah itu. Kekagumannya telah membutakan dirinya. Dia sama sekali tak menyadari keanehan tersebut. Maklumlah, ini adalah kali pertama ia datang ke sana.

Dari kejauhan, orang tuanya nampak duduk di sebuah bangku taman yang sudah usang. Sungguh sangat serasi. Mereka saling merangkul sambil tetap mengawasi gerak-gerik anak semata wayangnya. Pandangan mereka seolah tak dapat lepas dari Patrisia. Mereka terus saja melihat ke arah Patrisia. Sampai tak sadar ikut tertawa ketika Patrisia bertingkah lucu. ”Patrisia! Mainnya jangan jauh-jauh!” teriak ayahnya. “Ia,pa! Tenang saja!” jawabnya. Ah, dasar Patrisia! Bibirnya memang berkata iya, akan tetapi hatinya berkata tidak. Patrisia kecil masih meneruskan langkahnya; tak mau berhenti. Rasa ingin tahunya terlampau hebat hingga larangan itu tak digubrisnya. Sampai akhirnya, ia lelah. Semangatnya yang tadi berkobar, hilang sudah tergerus kondisi tubuh yang tak memungkinkan lagi. “Lessy, bagaimana kalau kita beristirahat di pohon besar itu?” “Guk! Guk!” jawab Lessy seperti mengerti ucapan Patrisia.

Tak sampai sepuluh langkah, mereka sampai di sebuah pohon besar yang menjulang tinggi. Batangnya nampak kokoh dan besar. Ranting-rantingnya tak terhitung; banyak sekali. Daun-daunnya berwarna kuning kecoklatan; ia berguguran dipermainkan angin, nampak seperti hujan. Sungguh, tempat yang sangat cocok untuk kurangi rasa lelah yang membebani mereka. Di sana Patrisia langsung menjatuhkan tubuhnya ke rerumputan empuk di bawah pohon tersebut. Sama dengan Lessy, dia langsung mengambil posisi yang enak untuk memejamkan mata. Hah..mereka nampak menikmati saat-saat itu. Menikmati harumnya rerumputan, menikmati kesejukannya,wah sangat nyaman. Dan angin sepoi-sepoi pun akhirnya menghipnotis keduanya. Mereka pun tertidur.
***
Awan gelap, petir menyambar, angin kencang; menerbangkan dedaunan. Seketika ladang rumput hijau berubah menjadi neraka. Semuanya lenyap tak berbekas. Tanah-tanah terkikis dan retak terbawa angin. Hujan mengguyur tanpa ampun. Dan tiba-tiba banjir melanda. “Ada apa ini?” bathin Patrisia. Ia basah kuyup di keroyok hujan. Gaun putihnya tak lagi putih karena terkena lumpur. Rambutnya yang ikal pun menjadi lepek. Ia berlari sekencang-kencangnya.”Ada apa sebenarnya ini? Ke mana Lessy? Ke mana orang tua ku?” Patrisia sangat bingung. Seingatnya, dia baru saja istirahat di sebuah pohon besar bersama anjingnya. Namun mengapa keadaannya bisa berubah sedrastis ini? Di tengah kebingungan itu, dia melihat seorang gadis kecil. Gadis tersebut sedang menangis di bawah pohon yang barusan menjadi tempat peristirahatannya. Kaki dan tangannya terikat oleh akar pohon itu. Tapi ada suatu keanehan pada gadis itu. Nampak dia tidak seperti gadis kecil pada umumnya. Kulit, rambut, dan matanya berwarna ungu. Sangat aneh. “Siapakah gadis ini? Mengapa dia bisa ada disini?”bathin Patrisia. Tak henti-hentinya dia menangis, membuat Patrisia merasa kasihan. Di tengah hujan yang mengguyur, petir menyambar-nyambar, Patrisia mendekati gadis itu. Namun banjir lumpur menyulitkannya. Tinggi lumpur, sudah sampai selutut orang dewasa. Hal ini membuat Patrisia harus berjuang lebih keras untuk mencapai pohon tersebut. Ia menyeret-nyeret kakinya dan hal tersebut sungguh menguras tenaga.

Langit masih meraung-raung dan menyeramkan. Suasananya begitu mencekam. Menakutkan.Tangisan gadis ungu tersebut pun menambah kengeriaan mendung hari itu. “Tenanglah, aku akan menyelamatkanmu.” kata Patrisia sambil menarik-narik akar pohon yang sedang membelit tubuh mungil gadis malang tersebut. “Percuma..” kata gadis itu lirih. “Aku telah lama terikat disini. Kau takkan bisa melepas ikatan akar ini” lanjutnya. “Biar aku coba dulu. Kamu tidak boleh putus asa. Aku akan berusaha.”kata Patrisia meyakinkan.“Aku tak percaya denganmu.”jawabnya sinis. “Mengapa?” Patrisia mengerutkan alis. “Pergilah! Selamatkan dirimu!” bentak gadis itu. Patrisia semakin bingung. Tapi dia tetap pada pendiriannya. “Tidak, sebelum aku menyelamatkanmu!” jawabnya mantap. “Dasar keras kepala! Terserahlah, jika kau mau mati.”
Patrisia masih berkutat dengan akar-akar pohon tersebut. Memang benar, akar pohon itu sulit untuk dilepaskan dari tubuh si gadis ungu. Tapi kegigihan Patrisia tak surut, dia terus berusaha dan terus berusaha. Dia tidak ingin gadis itu mati. Dan dia takkan setega itu. “Kalau pun mati, kita mati sama-sama! Aku takkan meninggalkanmu.” katanya meyakinkan. Gadis itu hanya tersenyum.

Patrisia masih terus berusaha melepaskan ikatan akar tersebut, terus berusaha hingga tak peduli akar tersebut menggores tangannya. “Sudahlah! Jangan sok jadi pahlawan! Pergilah sana!” bentak gadis itu. Patrisia tak habis pikir, mengapa gadis ini begitu pemarah dan sama sekali tak bersahabat. Niatnya hanya ingin menolong, bukan apa-apa. Mengapa dia terus saja menyuruhnya pergi. “Diamlah! Aku hanya ingin membantumu!” jawab Patrisia kesal.

Di tengah perdebatan itu, tiba-tiba muncul sebuah pusaran lumpur di dekat pohon yang mereka diami. Pusaran itu menyedot apapun yang ada di sekitarnya. Patrisia mulai panik. Tangannya mulai gemetar, namun dia masih berusaha melepaskan si gadis ungu. Dan pada akhirnya, usahanya tak sia-sia; ikatan itu terlepas juga. Dengan segera ia meraih telapak tangan si gadis ungu itu, dan mengajaknya pergi menjauh dari banjir lumpur yang melanda. Mereka pun terus berlari dengan sisa tenaga yang ada.”Terima kasih...”kata si gadis ungu. “Sama-sama.”jawab patrisia sambil tersenyum. “Tapi aku tak bisa berlari lagi..”kata si gadis. “Bertahanlah... sedikit lagi kita akan selamat.”Patrisia terus saja meyakinkannya. Namun, kelelahan itu menghentikan langkahnya. Dia pun jatuh pingsan. “Hei..adik kecil! Bangunlah! Bangun!” teriak patrisia panik. “Oh Good! Apa yang harusku lakukan?!” Tanpa pikir panjang Patrisia kemudian mengangkat tubuh lemah itu dan menggendongnya di pundaknya. Ia terus berlari. Sampai akhirnya...
***
Patrisia membuka matanya. Nampak ia masih tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. “Aku kembali ? ” bathinnya. Matanya menerawang kesekeliling ladang. “Ladang baik-baik saja, ke mana hujan dan banjir tadi? Aneh..” Dia masih tidak bisa percaya dan sangat tidak percaya. “Apakah itu mimpi? Ya.. itu hanyalah mimpi.” Katanya meyakinkan diri. Namun, keyakinan itu perlahan lenyap oleh keberadaan sebuah bunga kecil yang tiba-tiba saja tumbuh di sampingnya. Warnanya ungu, persis seperti adik kecil itu. “Ah ini hanya kebetulan saja Patrisia...” dia kembali membangun keyakinan dirinya.

Namun keberadaan bunga ungu itu membuatnya ragu. “Apakah aku benar-benar telah bermimpi? Jikalau benar mimpi, mengapa tiba-tiba muncul setangkai bunga di sini? Apa maksudnya?” Karena penasaran, Patrisia pun menyentuh bunga ungu itu; melihatnya secara seksama. Lama dia memperhatikan sampai dia dikagetkan dengan seberkas sinar yang tiba-tiba muncul dari bunga tersebut. Cahaya itu membungkus tubuh Patrisia; melilitnya seperti kepompong, lalu masuk ke telapak tangannya dan membentuk sebuah tato. Ya, sebuah tato bergambarkan bunga ungu yang bertuliskan Vesya. Kejadian itu di luar akal sehat patrisia. Keanehan-keanehan datang bertubi-tubi dan silih berganti, membuatnya semakin bingung, dan muncul perasaan takut. Dia terus menatap tato itu, “ Apa maksudnya ini? Apa itu Vesya?” banyak pertanyaan yang memenuhi pikirannya. Tak mau larut terlalu lama dengan kebingungannya, dia pun beranjak dari tempat itu, mengajak Lessy pulang bersamanya; meninggalkan keajaiban-keajaiban yang ia alami hari itu.

pelangi yang pudar












Aku yang kau sebut pelangi
Kini tak bisa biaskan keindahan dalam jiwamu
cahaya bulan menusukku
memojokkan bias-bias cinta
Aku telah terbelenggu dalam sebuah mimpi panjang
meraup semua yang kiranya menjadi debu

juli 18/03/2011

Minggu, 11 Desember 2011

Cinta Bertaraf Dewasa


Pada bagian paling awal, gue udah sempet cerita tentang cinta monyet gue ‘kan? Nah sekarang gue akan cerita masalah cinta gue yang bertaraf agak lebih dewasa lagi. Kalau ngomongin masalah cinta, gue bukan ahlinya. Secara, semenjak putus dari Eko, gue enggak pernah pacaran lagi. Gue sempet putus-nyambung ama dia, pĂ©rcis banget ama lagunya Bukan Bintang Biasa ,“..putus-nyambung, putus-nyambung, putus-nyambung, sekarang putus besoknya menyesal…”

Tapi, itu enggak terlalu penting lah! Gue juga enggak terlalu mikirin hal itu. Percaya atau enggak, gue enggak pernah suka ama Eko. Dan pertanyaannya, kenapa gue tetep pacaran ama dia? Loe pernah denger lagunya Vidi aldiano yang Status Palsu ‘kan? Nah, mirip kayak gitu lah! Mungkin terdengar sangat jahat, tapi mau gimana lagi. Gue tetep aja seorang manusia. Ya, enggak? ( yaiyailah! Siapa bilang loe monyet?! Kalo emang ngerasa sie enggak apa-apa).

Ya udah lah enggak usah di bahas. Gue akan balik pada cinta bertaraf agak dewasa gue. Hwehe… pas itu, gue baru aja naik kelas dua SMP. ( masih ingat ‘kah kalian, waktu itu hubungan gue masih ‘gantung’ ama si Eko) . Nah, saat itu gue sempet kesemsem ama anak pindahan dari Kerangasem ( bukan kerang yang baunya asem low) yang pindah ke SMP gue dan sekelas pula ama gue. Wih.. bener-bener kebetulan yang indah ya! Hohoho…

Pertama kali ketemu sie, biasa-biasa aja. Yah, pokoke enggak ada yang special gituw. Tapi karena dia duduk di belakang gue, akhirnya gue jadi akrab banget ama dia. Anaknya tinggi jangkung, kulit putih, dengan gigi yang enggak teratur. (eits… jangan ilfil dulu! Walau kayak gitu, senyumnya tetep manis kok! Kalo diisiin gula.) Namanya Tio ( namanya disamarkan aja ya, malu kalo orangnya baca).

Dia duduk ama Agus. Agus ini temen gue waktu SD juga. Selain Iwang (Makjomblang gue. Inget ‘kan?), masih banyak alumnus SD gue sekolah di sini. Malahan ampe 99% setelah di kurangin si Eko. Percaya atau enggak, jumlah siswa SD gue pas itu adalah 10 orang ( 4 cewek dan 7 cowok) itu pun setelah dikurangin 2 siswa titipan SD sebelah. Yah, pokoke SD gue krisis murid banget. (sungguh tragis!)

Agus ini, anaknya pinter. Tapi sayang, malah gue yang jadi bintang kelasnya. Parah enggak tow! ( huu.. tetep narziz). Emang itu aja yang bisa gue banggain dari diri gue. Secara, kalo mau banggain fisik. Wah.. parah banget. Sulit untuk menententukan bagian tubuh mana yang bisa gue banggain. Udah krempeng, kulit kayak sawo kematengan, truz idup lagi. Hm… tapi gue tetep bersyukur kok.

Balik ke Tio. Gue emang suka ama Tio. Gue pun sempet curhat ama Puspita (dia ini anak pindahan juga low! Heran ya! Banyak kali yang pindah ke SMP gue). Dia pun berusaha untuk mempersatukan kami. Iyah sejenis nyomblangin gitu lah! Tapi, gue ‘kan udah kayak “Tom and Jerry” ama Tio. Perlu di comblangin enggak, sodara-sodara?

Hah.. emang dasarnya, anak ingusan yang pengen kawin. Gue pun pasrah aja dicomblangin ( bukannya itow bagus ya?). Tapi gue sempet mikir gini,…..

Pertama, kalo usaha comblang-menconjomblangi ini gagal, pastinya gue akan patah hati and nangis-nangis bombay di kamar. Kedua, kalo pun kita sempet jadian, trus ujung-ujungnya putus juga, Yah sama aja bo’ong kalo gitu! Akhirnya, setelah melalui proses berpikir yang cukup memakan waktu. Dan di tempat yang kagak elit pula (toilet..) , gue putusin untuk ngelupain dia. I just wanna love you.

Hm.. satu hal yang gue tau. Cinta enggak harus memiliki. So, gue enggak akan pernah menyesal suka dengan Tio walau gue Cuma bisa jadi sahabatnya.

Yah….,

padahal dalam hati sebenernya gue enggak rela. What can I do? Ya mau digimanain lagi.