Selasa, 03 Januari 2012

Tradisi; Wanita Termaginalkan



Anggapan bahwa novel hanya sebatas hiburan kini terbantahkan oleh sebuah tulisan yang berjudul “Resistensi terhadap Hegemoni Patriarki: Perlawanan Kultural Perempuan-Perempuan Bali dalam Novel”, karya Gede Artawan. Tulisan yang menunjukkan eksistensi novel yang semula hanya dipandang penghilang rasa bosan, kini telah diakui menjadi salah satu alat perjuangan bagi wanita-wanita Bali yang diwacanakan telah terengkuh oleh hegemoni patriarki.  Tulisan yang bisa dikatakan bentuk kepedulian Gede Artawan terhadap perempuan-perempuan Bali ini mengulas tentang kedudukan wanita pada beberapa novel seperti karangan Oka Rusmini, Putu Wijaya dan Panji Tisna yang memang perlu ditanggapi secara serius mengingat semakin terkungkungnya hak wanita di tengah belenggu tradisi yang mengikat kuat secara historis tersebut. 
Salah satu permasalahan yang diangkat dalam novel karangan Oka Rusmini, Putu Wijaya, dan Panji Tisna adalah ketegangan antara tradisi dan modernisasi. Di tengah keinginan untuk memperbaharui ideologi yang telah usang akhirnya membentur tembok tradisi yang boleh dikatakan sulit untuk diubah. Bila dicermati lagi, kegagalan dalam menembus tembok tradisi tersebut disebabkan oleh kerak budaya yang memfosil yang akhirnya menghambat pemikiran rasional dan pragmatis masyarakat Bali. Dapat dikatakan penyetaraan gender adalah hal tabu jika dilihat dari kacamata tradisi. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa ketabuan penyetaraan jender dari kacamata tradisi akan terkikis seiring dengan berjalnnya waktu.
Ada semacam perjuangan kultural yang diusung dalam tulisan yang dikarang oleh Gede Artawam. Pembebasan yang diinginkan oleh seorang perempuan tersebut akhirnya dilakukan dengan terus maju. melawan keteraniayaan. Lewat beberapa terobosan yang disuntikkan pada tradisi lama seperti Men Negara beserta Ni Rawit yang menyangkal konsep sudra dan melakukan nyerod, perempuan bisa dikatakan telah berani melawan hegemoni patriarki. Tidak bisa dipungkiri bahwa perjuangan kultural ini belum mendapat hasil yang maksimal. Penyangkalan terhadap kultural yang telah mendarah daging akan tetap menimbulkan polemik baru yang pada akhirnya menghasilkan masalah baru. Perlawan-perlawanan ekstrem seperti ini tentu mengandung banyak resiko terhadap perempuan yang melakukannya. Kemungkinan terburuk yang akan diterima adalah diasingkan oleh tradisi yang berusaha ditentangnya tersebut. Masyarakat akan makin memandang rendahnya dan pengucilan pun tak terelakkan.
            Perjuangan ke arah persamaan gender yang tuangkan dalam karya satra seolah membuktikan pada kita bahwa perjuangan tidak selalu beradu fisik. Jika kita jeli, karya sastra pun dapat digunakan sebagai senjata dalam memperjuangkan hak-hak perempuan. Halus dan mengena, itulah moto yang mungkin bisa dikatakan sebagai tolok ukurnya. Novel memang tak terbatas pada episode ruang dan waktu  saja tapi lebih pada bagaimana penggambaran tokoh-tokoh perempuannya sehingga pembaca mampu menggali dan mendalami sendiri ide-ide yang ingin disampaikan si penulis. Novel pada konteks ini telah menjadi salah satu ruang produksi dan diaspora symbol, dipadati oleh berbagai kepentingan untuk memperebutkan legitimasi dan mendapatkan otoritas guna menanamkan realitas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar