Kamis, 17 November 2011

Memaknai Perayaan 17 Agustus

Seru suara menggema; menyiarkan kemerdekaan yang telah terjadi enam puluh enam tahun yang lalu. Tak terasa sudah 66 tahun Republik ini merdeka, tepat 17 Agustus 1945 pukul 10.00 WIB bung Karno didampingi bung Hatta membacakan teks Proklamasi. Sudah selama itu pula bangsa Indonesia mengecap kebebasan dan jauh dari segala perbudakan.

Tujuh belas Agustus tahun empat lima, itulah hari kemerdekaan kita. Hari merdeka nusa dan bangsa, hari lahirnya bangsa Indonesia, Mer! De! Ka! Sekali merdeka tetap merdeka! Selama ayat masih dikandung badan…”

Nyanyian yang sarat dengan nada patriotisme rakyat bagi negaranya. Sungguh mengharukan semangat rakyat bagi bangsanya.

Kondisi masa kini justru menujukkan hal yang sebaliknya. Rakyat tak lagi mengingat gelora patriotisme yang dulu mengelegar. Rakyat kini hanya sibuk dengan pikiran sendiri-sendiri dan tidak lagi peduli arti kemerdekaan. Arti kemerdekaan itu seakan bukan hal penting lagi. Akan tetapi, tidak keseluruhan pendapat itu terbukti. Di Kabupaten Buleleng, di ujung Utara Pulau Bali, gelegak kemerdekaan itu dirayakan dengan cara yang berbeda dan sederhana serta diliputi oleh rasa suka cita oleh rakyatnya.

Rasa suka cita biasanya diluapkan dalam bentuk perayaan-perayaan akbar. Di Buleleng, perayaan lebih mengedepankan pameran kesenian seperti Pawai, pasar malam sekaligus pameran. Pawai dan pameran merupakan acara yang paling diunggulkan pada perayaan tersebut karena keduanya mengemban tujuan khusus yang mulia. Apakah itu? Ada istilah klise seperti ini, “Tak kenal maka tak sayang”. Lewat pawai dan pameran inilah, pemerintah ingin memperkenalkan kembali kesenian-kesenian maupun ciri khas setiap kecamatan di Buleleng yang mulai memudar tergerus jaman. Walaupun perbedaan mewarnai pawai dan pameran ini, tetapi hal tersebut adalah bentuk kebinekaan kecil negara Indonesia. Ibarat sebuah replika, pawai ini tampak mengisyaratkan betapa kaya bumi Indonesia dengan seni dan budaya. Di tengah era yang mulai memodernisasi kehidupan manusia, Buleleng seolah ingin tetap pada jati dirinya. Tetap bukan berarti tak mau berkembang atau statis tetapi hanya takut kehilangan kenangan yang membuat Buleleng apa adanya. Dengan tetap mempertahankan apa yang telah diwariskan itu berarti Buleleng tak durhaka pada nenek moyang mereka sendiri.

Belajar dari sejarah adalah motto yang terselip dalam pawai dan pameran ini seperti kata Bung Karno, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak lupa dengan sejarahnya”. Jadi, jika ingin menjadi bangsa yang besar seperti kata beliau, kita seharusnya bisa menghargai sejarah. Dalam hal ini, jika dikaitkan dengan kesenian maupun kebudayaan, Bung Karno seolah memberikan sebuah keyakinan bahwa dengan melestarikan dan mengingat kebudayaan maupun kesenian yang telah dimiliki sejak dulu, itu artinya kita sudah menghargai sejarah. Dari sana kita dapat memetik suatu makna bahwa, hari ini tidak akan ada jika tidak ada hari kemarin, kebudayaan sekarang tidak akan ada jika tak ada kebudayaan di masa lalu. Itulah makna dari menghargai sejarah. Tentunya kita tidak ingin kasus pencurian kebudayaan lokal terulang kembali, seperti batik yang diklaim milik Malaysia atau lagu “Rasa Sayange” yang juga diklaem oleh Malaysia, hanya karena kita lupa dengan kebudayaan sendiri. Relakah kita hal itu terjadi lagi? Jadi jelas bahwa penting melestarikan apa yang telah kita punya daripada ikut-ikutan kebudayaan asing yang tidak sesuai dengan jati diri bangsa kita. Jika bukan kita yang mehargai kepunyaan sendiri, siapa lagi? Seperti kata iklan rokok yang satu ini “Rumput tetangga boleh saja terlihat lebih asik tapi lebih asik rumput gue”. Jadi, belajarlah mencintai kesenian bangsa sendiri.

Jika dipikirkan kembali, nenek moyang kita adalah manusia-manusia jenius yang mampu menciptakan karya seni di tengah keterbatasan yang mereka miliki. Lihat saja, hal-hal kecil mereka jadikan inspirasi dalam berkarya seperti gerakan burung bisa menjadi tarian, sebuah batu bisa menjadi senjata atau peralatan rumah tangga, dan lainya. Kebudayaan-kebudayaan ini adalah cikal bakal kebudayaan kita sekarang. Kita seharusnya berbangga hati pada hasil kebudayaan nenek moyang kita sendiri. Tugas kita sekarang adalah melestarikannya dan menjaganya. Lewat pawai dan pameran inilah kita diingatkan kembali pada usaha keras nenek moyang dalam mewujudkan kehidupan yang lebih baik seperti sekarang. Kecanggihan dan kenyaman hidup kita sekarang, berkat siapa? Belajarlah untuk mengucapkan terimakasih pada mereka lewat kepedulianmu.

Sekali lagi, walaupun tak tampak secara jelas tertulis, tetapi itulah makna yang terkandung sesungguhnya. Pawai dan pameran ini bukan semata-mata untuk hura-hura atau bersenang-senang tetapi lebih pada pemaknaan perayaan akbar ulang tahun bangsa kita.

Jangan hanya menuntut apa yang bangsamu berikan kepadamu, tapi coba pikirkan apa yang bisa kau berikan untuk bangsamu.

1 komentar: