Matahari kian meredup ketika senja mulai memanggil. Terik yang menyengat kini tergantikan oleh dingin sang malam. Senja di teminal Banyuasri seolah menjadi alaram yang mengingatkan para supir untuk pulang dan meninggalkan sejenak kewajibannya. Terminal yang tadinya ramai oleh kendaraan, akhirnya lengang oleh aktivitas keseharian para pencari nafkah ini. Tak banyak suara yang membahana ketika remang telah mencapai gelap. Ketika kesunyian mulai merajai terminal, tampak seorang bocah tertidur di emperan toko. Lelap tidurnya, terasa tak menggubris dingin lantai yang hanya beralaskan koran. Tubuhnya yang mungil tampak telah terbiasa direbahkan pada tempat yang tidak layak disebut ranjang. Lelah memaksanya untuk memejamkan mata. Kemiskinan telah menariknya pada kemewahan yang kini hanya angan dibenaknya. Dialah Agus, seorang bocah yang seharusnya duduk dibangku sekolah dasar. Sayang, keinginannya hanyalah angan yang teraih jika dia tertidur. Nasib tak mengizinkannya mengecap apa itu pendidikan dan ekonomi lagi-lagi menjadi alasan dasar mengapa hal itu terjadi. Dia berasal dari Sawan Badung, tapi kini dia tinggal di terminal Banyuasri. Tak ada atap yang benar-benar meneduhkannya dari terik sang mentari. Emper-emper toko adalah tempat persinggahan sementara baginya. Kardus dan koran adalah selimutnya. Dia tak punya siapa-siapa, hanya ayah dan seorang adik yang menemani hari-harinya. Ayahnyalah yang mendekapnya ketika malam terlampau dingin. Siapa yang ingin memilih hidup terkatung-katung tanpa tujuan seperti ini? Tidak ada. Jeritan hatinya terlampau sering diperdengarkan pada mentari namun tiada jawab. Apa yang bisa diperbuat? Tetap tidak ada. Dia hanya ingin sedikit meraih harapan dalam butiran debu yang dihirupnya tiap hari; ingin menjadi seorang yang berarti bagi tiap napas perjalanannya. Dia mungkin hanyalah bocah berbaju lusuh,kotor dan tak terurus, tetapi dia tetaplah manusia yang terlahir dari rahim seorang ibu. Dia tak pernah menyatakan diri sebagai pengemis hanya saja dia hidup dari belas kasihan orang lain.
Agus dan Dena ketika menyewa playstation di terminal Banyuasri
“Om Swastiastu” itulah kata pertama yang sering disebut ketika menengadahkan tangannya pada orang-orang. Kata yang tak dimengerti maknanya, namun tak pernah diambil pusing olehnya. Satu hal yang ia tahu; bisa makan. Ayahnya selalu mengatakan,” Ucapkanlah Om Swastiastu pada orang-orang yang kamu mintai dan jangan pernah memaksa orang yang tak mau memberimu”. Kata-kata itu slalu dicatat dalam ingatannya.
Agus dan pak Jero ketika makan satu piring berdua di sebuah warung.
Tak banyak yang bisa kulakukan dalam keterbatasan. Perut ini telah terbagi bersama kedua keluargaku. Receh yang didapat memungkinkan kami untuk mengisi perut seadanya.
Pergi!!!!!!!!
Sana pergi!!!!!!
Aku kagak punya uang!!!!!
Kata itu terus membayangi pikirannya, ketika dia melangkah berpeluh keringat menelusuri aspal-aspal yang melepuh akan sinar matahari yang sombong. Jejak yang tertinggal menjadi sebuah simbol dalam hidupnya. Betapa keras menjalani hidup. “ah…..aku akan terus berjuang demi hidup dan perutku yang lapar, aku tidak akan menyerah sampai disini”. Meminta belas kasihan dari orang-orang rakus melahap makanannya yang duduk di bangku-bangku kaki lima, dia tengadah dengan muka yang sengaja dia pucatkan, agar mereka mengasihinya. Tetapi, dia terus bertanya-tanya dalam hati, apakah ada yang mau mengasihininya? Apakah dia akan mendapatkan receh demi receh uang? Apakah dia akan makan pada siang dan malam ini?. “Om Swastiastu…idih pise buk.” Hanya kata itu yang bisa diucapkan dari bibir kecilnya. Tetapi dia nampak takut dengan semua hentakan yang pernah terlontarkan dari mulut-mulut besar itu.
Matahari masih berada tepat diatasnya, memayungi tubuh yang mungil itu, membasuh seluruh wajah, tubuh dan kedua kakinya dengan keringat. Tak ada yang menemani dalam kesendiriannya. Hanya debu terminal yang menyapa. Seolah hanya debu yang mampu memahami deritanya.
Pak Jero (47) , begitulah orang-orang memanggilnya. Rambutnya godrong; diikat seadanya. Badannya agak gemuk, tinggi dan bertato. Siapa yang mengira, dia adalah peminta-minta. Tak ada tanda-tanda yang memperlihatkan sisi kehidupannya yang sebenarnya. Wajahnya yang sangar; tuturnya yang mantap, mengaburkan semuanya. Dialah keluarga yang dimiliki Agus kini.
Bila tidak mungkin Agus mendapatkan sepeser uang receh, dia akan menunggu sang ayah pulang dari tempat perjudian. Ayahnya sering berdiam di tempat-tempat itu untuk meminta belas kasihan para penjudi. Tak kurang dari lima puluh ribu didapatnya di sana. Biasanya pak Jero akan mendekati, petarung-petarung yang menang diperjudian tersebut. Akan tetapi, tidak jarang dia juga menjadi pemainnya. Salah seorang pedagang yang mengenal mereka mengatakan,” Kalau mendapat uang banyak, terkadang dia akan main cewek atau ikut tajen. Sedangkan kedua anaknya akan ditinggalkan di sini”. Ya, keluarganya hancur karena ini. Judi adalah sumber kemelaratan hidupnya. Kegilaan sang ayah terhadap judi membuatnya harus menanggung semuanya. Salah satunya adalah merantau ke Buleleng.
Kenangan Pahit
Hal itu terjadi enam tahun silam. Ketika itu umur Agus baru menginjak 2 tahun, Agus bersama ayahnya pergi mengemis disekitaran Sawan. Pulang dari mengemis, mereka sudah mendapati sang ibu berada dalam satu ranjang bersama seorang laki-laki. Yang lebih menyakitkan, laki-laki itu adalah teman baik sang Ayah. Akhirnya terjadi pertengkaran besar di antara mereka bertiga. Agus yang waktu itu belum mengerti apa-apa, harus menonton adegan kekerasan yang seharusnya tidak boleh ia lihat.
Dari kisah itu, ada versi lain yang menyebutkan hal yang berbeda dari pengakuan pak Jero. Desas-desus mengatakan Ibunya menikah lagi karena tak tahan dengan sifat pak Jero yang suka berjudi. Karena sakit hati, terjadilah pertengkaran hebat antara pak Jero dan istrinya. Beberapa bulan kemudian Istrinya akhirnya menikah lagi dengan seorang pengusaha. Tahu akan hal tersebut, pak Jero pun merasa sakit hati dan akhirnya sang istri dibunuh dengan cara dibakar hidup-hidup di dalam rumah. Pada akhirnya Pak Jero di penjara dan Agus dititipkan di panti asuhan. beberapa tahun kemudian pak Jero bebas dan mengambil kembali anaknya di panti asuhan tersebut. Akan tetapi, kesukaannya terhadap judi masih tersalurkan dengan datang ke tempat-tempat maksiat itu untuk meminta-minta.
Masih sayang Ayah
Diusianya yang terlampau muda, Agus juga harus merasakan susahnya mencari nafkah. Seharusnya, anak sekecil itu, dapat merasakan manisnya masa kanak-kanak, tapi kenyataan berkata lain. Dia harus ikut memenuhi kebutuhan keluarga yang jauh dari kata cukup. Tapi, bocah tetaplah bocah dia terkadang mencuri-curi waktu untuk bermain juga.
Agus memiliki banyak sahabat di terminal tersebut. Dia sering bermain di sekitaran terminal selayaknya bocah pada umumnya. Tawanya; seolah menghapuskan pedih dalam hatinya. Melepaskan diri dari lilitan kewajiban yang harus dialaminya.
Kebanyakan teman Agus adalah anak yang berpendidikan. Akibatnya, dia sempat malu, ketika diejek karena tidak mengenyam bangku pendidikan. Akhirnya Agus sempat merengek meminta sekolah pada sang ayah. Sayangnya, harapan itu terbentur oleh prinsip ayahnya, yaitu “untuk apa sekolah? Buang-buang duit saja! Mending di pake makan”. Setelah kejadian itu, ia tak pernah meminta sekolah lagi. Ia seolah mengerti dengan keadaannya kini. Dia seolah bisa menerima nasib yang diberikan Tuhan padanya. Sungguh anak yang luar biasa.
Begitu tegar, itulah yang bisa penulis gambarkan dari bocah ini. Ditengah beratnya hidup yang bertubi-tubi menimpanya, ia tak pernah bersedih ataupun menunjukkan rasa pilu. Dia malah berjiwa besar, mau memaafkan sikap-sikap ayahnya. Dia sempat berkata,” Saya Sayang banget dengan bapak”. Itu adalah kata yang paling mengharukan yang pernah penulis dengar. Walaupun sifat sang ayah yang terkadang membuatnya susah, namun Agus tetap menyayangi sang ayah; seberapapun jelek sifatnya itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar