Jaman dahulu, ada sebuah desa yang sangat miskin bernama Gumi Bangsule. Keadaannya sangat memprihatinkan. Kemarau yang tak berkesudahan melanda desa tersebut bertahun-tahun. Wabah penyakit merajalela; merenggut senyum yang tak pernah tersungging dari bibir penduduknya. Wajah-wajah lusuh, membalut suasana pedesaan yang jauh dari kata “Indah”. Tanah pertanian yang tak pernah tergenang air kini telah menjadi bongkahan padat tak terurus. Tanaman-tanaman tak mau tumbuh, seolah enggan memberikan penghidupan bagi desa Gumi Bangsule.
Pada suatu ketika, jerit tangis penderitaan penghuni desa Bangsule didengar oleh Ida Betari Danuh.. Akhirnya, beliau pun memerintahkan Ida Betara Manik Kumawang membantu desa itu dengan berstana di gunung Beratan. Ida Betara Manik Kumawang pun menyanggupi perintah tersebut, dan berangkatlah Beliau ke gunung Beratan.
Lama beliau berstana di gunung Beratan, tetapi tidak membuahkan hasil yang manis. Desa Gumu Bangsule tetap ada pada lingkaran kesengsaraan yang tak berkesudahan. Oleh sebab itu, Ida Betara Manik Kumawang melakukan semedi di tengah-tengah danau Beratan. Beliau mengapung di atas air danau selama beberapa tahun untuk melakukan semedi. Akan tetapi, semedi itu terganggu oleh seekor ikan yang sangat besar dan sakti. Ikan tersebut berada tepat di bawah Ida Betara Manik Kumawang yang bersemedi. Rupanya, ikan tersebut juga melakukan semedi. Sayangnya, semedi yang dilakukan ikan besar itu, membuat semedi beliau gagal. Oleh sebab itu, Ida Betara Manik Kumawang murka. Beliau lalu mengeluarkan sebuah kutukan. Tiba-tiba langit mendung. Petir menyambar. Banjir besar, pun datang menghanyutkan semua penghuni danau Beratan termasuk sang Ikan besar. Ikan tersebut terseret arus sampai ke sungai Yeh Sungi., tepatnya di Alas Petiga, desa Gumi Bangsule. Keganasan banjir itu membunuh sang Ikan besar. Mayatnya pun terdampar di tepi sungai Yeh Sungi.
Beberapa hari kemudian, mayat sang Ikan Besar mengeluarkan bau busuk yang sangat menyengat. Bau busuk itu pun sampai ke danau Beratan dan kembali mengganggu konsentrasi Ida Betara Manik Kumawang. Beliau pun mencari tahu asal bau menyengat tersebut. Beliau menyusuri hutan hingga sampai di Alas Petiga. Bau busuk itu pun semakin tajam tercium. Akhirnya, beliau mendapati mayat sang Ikan besar tergeletak di tepi sungai Yeh Sungi. Untuk memusnahkan bau busuk yang ditimbulkan oleh mayat sang Ikan besar, akhirnya beliau memutuskan untuk melebur tubuhnya. Tiba-tiba keajaiban terjadi, sang Ikan Besar hidup kembali. Sontak, Ida Betara Manik Kumawang terkejut. Sang ikan Besar, lalu meminta maaf pada Ida Betara Manik Kumawang karena telah mengganggu semedinya. Sebagai gantinya, ia bersedia mengorbankan dirinya dan berstana di alas Petiga. Dia berjanji akan memakmurkan penduduk Gumi Bangsule. Ida Betara Manik Kumawang pun menerima maaf sang Ikan Besar. Lalu diubahlah sang Ikan Besar menjadi seekor ikan yang kecil berbadan panjang seperti belut ( disebut juga be Julit). Sang ikan besar yang telah diubah wujudnya itu pun meloncat ke sebuah tebing. Tak berapa lama, gempa terjadi. Tebing yang tadinya kokoh, tiba-tiba terbelah menjadi dua dan mengeluarkan air. Pada tebing itu pula, terbentuk sebuah kolam kecil yang merupakan stana sang Ikan. Sejak kejadian itu, perubahan mulai dirasakan desa Gumi Bangsule. Kini, desa tersebut tak lagi melarat seperti dulu, kehidupan telah membaik di sana. Sebagai tanda terima kasih kepada sang Ikan, masyarakat Gumi Bangsule berjanji tidak akan memakan ikan Julit. Selain itu, penduduk Bangsule juga membuatkan pelinggih di sana. Tempat itu kemudian diberi nama Pura Toya Bubuh.
Kepercayaan orang Gumi Bangsule (sekarang di sebut desa Petiga) tentang pantangan untuk tidak memakan be Julit masih ajeg sampai sekarang. Mereka meyakini bahwa siapa saja yang memakan be Julit (khususnya penduduk Petiga dan orang yang pernah sembahyang di Pura Toya Bubuh), kulitnya akan bersisik seperti ikan dan mengeluarkan nanah. Jangankan memakan dan membunuh, melangkahi bangkai ikan Julit saja akan memberikan efek yang sama.
Sumber Asli: Lontar Tri Lingga Tatwa.
Diterjemahkan dalam Bahasa Bali oleh I Gusti Ketut Putera (Jero Alit Kalaran Belayu)
Diceritakan kembali dengan sedikit perubahan (dalam bahasa Indonesia) oleh Juliasih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar