Anggapan bahwa novel hanya sebatas hiburan kini
terbantahkan oleh sebuah tulisan yang berjudul “Resistensi terhadap Hegemoni
Patriarki: Perlawanan Kultural Perempuan-Perempuan Bali dalam Novel”, karya
Gede Artawan. Tulisan yang menunjukkan eksistensi novel yang semula hanya
dipandang penghilang rasa bosan, kini telah diakui menjadi salah satu alat
perjuangan bagi wanita-wanita Bali yang diwacanakan telah terengkuh oleh
hegemoni patriarki. Tulisan yang bisa
dikatakan bentuk kepedulian Gede Artawan terhadap perempuan-perempuan Bali ini mengulas
tentang kedudukan wanita pada beberapa novel seperti karangan Oka Rusmini, Putu
Wijaya dan Panji Tisna yang memang perlu ditanggapi secara serius mengingat semakin
terkungkungnya hak wanita di tengah belenggu tradisi yang mengikat kuat secara
historis tersebut.
Salah satu permasalahan yang diangkat dalam novel
karangan Oka Rusmini, Putu Wijaya, dan Panji Tisna adalah ketegangan antara
tradisi dan modernisasi. Di tengah keinginan untuk memperbaharui ideologi yang
telah usang akhirnya membentur tembok tradisi yang boleh dikatakan sulit untuk
diubah. Bila dicermati lagi, kegagalan dalam menembus tembok tradisi tersebut
disebabkan oleh kerak budaya yang memfosil yang akhirnya menghambat pemikiran
rasional dan pragmatis masyarakat Bali. Dapat dikatakan penyetaraan gender
adalah hal tabu jika dilihat dari kacamata tradisi. Namun tidak menutup
kemungkinan bahwa ketabuan penyetaraan jender dari kacamata tradisi akan terkikis
seiring dengan berjalnnya waktu.
Ada semacam perjuangan kultural yang diusung dalam
tulisan yang dikarang oleh Gede Artawam. Pembebasan yang diinginkan oleh
seorang perempuan tersebut akhirnya dilakukan dengan terus maju. melawan
keteraniayaan. Lewat beberapa terobosan yang disuntikkan pada tradisi lama
seperti Men Negara beserta Ni Rawit yang menyangkal konsep sudra dan melakukan nyerod, perempuan bisa dikatakan telah
berani melawan hegemoni patriarki. Tidak bisa dipungkiri bahwa perjuangan
kultural ini belum mendapat hasil yang maksimal. Penyangkalan terhadap kultural
yang telah mendarah daging akan tetap menimbulkan polemik baru yang pada
akhirnya menghasilkan masalah baru. Perlawan-perlawanan ekstrem seperti ini
tentu mengandung banyak resiko terhadap perempuan yang melakukannya.
Kemungkinan terburuk yang akan diterima adalah diasingkan oleh tradisi yang
berusaha ditentangnya tersebut. Masyarakat akan makin memandang rendahnya dan
pengucilan pun tak terelakkan.
Perjuangan ke arah persamaan gender
yang tuangkan dalam karya satra seolah membuktikan pada kita bahwa perjuangan
tidak selalu beradu fisik. Jika kita jeli, karya sastra pun dapat digunakan
sebagai senjata dalam memperjuangkan hak-hak perempuan. Halus dan mengena,
itulah moto yang mungkin bisa dikatakan sebagai tolok ukurnya. Novel memang tak
terbatas pada episode ruang dan waktu saja
tapi lebih pada bagaimana penggambaran tokoh-tokoh perempuannya sehingga
pembaca mampu menggali dan mendalami sendiri ide-ide yang ingin disampaikan si penulis.
Novel pada konteks ini telah menjadi salah satu ruang produksi dan diaspora
symbol, dipadati oleh berbagai kepentingan untuk memperebutkan legitimasi dan
mendapatkan otoritas guna menanamkan realitas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar